MINI RISET
“KEMISKINAN DI SUMATERA UTARA”
Dikerjakan Untuk Memenuhi Salah
Satu Tugas
Mata Kuliah Ekonomi Pembangunan
DOSEN PENGAMPU :
Dr. Eko W. Nugrahadi, M.si
Oleh :
NAMA : NURLITA SARI PANDIANGAN
NIM : 7123141103
KELAS : B REGULER
PRODI : PENDIDIKAN EKONOMI 2012
JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala.
Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan,
tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran
kehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan,
pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman
modern.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya
dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara
maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan
di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul
di Eropah. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga
kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah,
sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di
permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti
prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian:
kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang
termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah
garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan,
sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif
sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah
kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan
sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki
tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis mencoba memberikan
gambaran mengenai kemiskinan yang terjadi di Sumatera Utara agar para pembaca
mengetahui masalah tentang kemiskinan, penyebab dan penanggulangannya.
2.1 RUMUSAN
MASALAH
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang:
1. Apa
pengertian kemiskinan dan apa sajakah teori dalam kemiskinan itu?
2. Bagaimana
cara mengukur kemiskinan?
3. Apa saja
penyebab kemiskinan?
4. Bagaimana
keadaan kemiskinan di Sumater Utara?
5. Apa saja
yang harus diprioritaskan dalam pengentasan kemiskinan di Sumaters Utara?
2.2 TUJUAN
PEMBAHASAN
Tujuan makalah ini adalah:
1. Mengetahui
pengertian kemiskinan dan teori kemiskinan
2. Mengetahui
cara mengukur kemiskinan
3. Mengetahui
penyebab kemiskinan
4. Mengetahui
keadaan kemiskinan di Sumatera Utara
5. Mengetahui
apa saja yang harus diprioritaskan dalam pengentasan kemiskinan Sumatera Utara
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
PENGERTIAN KEMISKINAN
Menurut
Kamus Bahasa Indonesia, Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi
kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat
berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup .
Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan
yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian
orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang
lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi
memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah "negara
berkembang" biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang
"miskin".
Kemiskinan
adalah tidak hanya terpenuhinya makanan dasar, perlindungan, perawatan medis,
pengamanan, kebiasaan berpikir yang dilandaskan pada nialai
kebebasan manusia. akan tetapi, lebih luas dikatakan bahwa sesungguhnya,
kemiskinan adalah keadaan memaksakan kehendak kepada orang lain.
Kemiskinan dapat diartikan
pencabuatan penghubung. ”sosial (definisi penghubung) dan kemiskinan juga
didasrkan pada budaya lokal ketika menghendaki menyelesaikan problem
lokal.Definisi kemiskinan sering dihubugkan dengan konsep keluarga, penyandang
dana, pengurusan pajak-pajak, dan hak sebagai hasil dari upaya kerja.
Kemiskinan adalah ketidak adaan yaitu seseorang yang
tidak mempunyai perlindungan, makanan, kesehatan, dan keselamatan.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai
cara. Pemahaman utamanya mencakup:
·
Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup
kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan
pelayanan dasar.
·
Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk
keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi
dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan
sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup
masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
·
Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan
yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi
bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Sedangkan
Kepala Badan Pusat Statistik , Rusman Heriawan mengatakan seseorang dianggap
miskin apabila dia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal. Kebutuhan
hidup minimal itu adalah kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan dalam takaran
2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti
perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi. "Jadi ada kebutuhan
makanan dalam kalori dan kebutuhan non makanan dalam rupiah. Kalau rupiahnya
yang terakhir adalah Rp 182.636 per orang per bulan," kata Rusman Heriawan
kepada BBC. Dengan definisi itu, Jumlah
penduduk miskin di Sumatera Utara hingga September 2012 lalu mencapai 1,4 juta
jiwa. Meski setiap tahun terjadi penurunan angka kemiskinan, namun tidak mampu
menandingi laju pertumbuhan ekonomi Sumut.
Angka itu
merupakan hasil survei sosial ekonomi nasional, Susenas dengan sampel hanya
68.000 rumah tangga, padahal jumlah rumah tangga di Indonesia mencapai
55.000.000. Menurut ahli statistik dari Institut Teknologi Surabaya,
Kresnayana Yahya, cara pandang pemerintah terhadap kemiskinan tidak
mencerminkan realitas.
"Ada
yang tidak diperhitungkan, perusak-perusak kalori. Orang merokok bisa enam
sampai tujuh batang. Itu sebenarnya negatif. Dia bisa mengatakan belanjanya
sekian, tetapi di dalamnya ada enam-tujuh batang rokok," kata Kresnayana
Yahya.
2.2 TEORI
KEMISKINAN
Pada
dasarnya, kemiskinan merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak umat
manusia ada. Kemiskinan merupakan persoalan kompleks, berwajah banyak, dan
tampaknya akan terus menjadi persoalan aktual dari masa ke masa. Meskipun
sampai saat ini belum ditemukan suatu rumusan ataupun formula penanganan
kemiskinan yang dianggap paling berdayaguna, signifikan, dan relevan,
pengkajian konsep dan strategi penanganan kemiskinan harus terus menerus
diupayakan. Pengupayaan tersebut tentu sangat berarti hingga kemiskinan tidak
lagi menjadi masalah dalam kehidupan manusia.
Seperti
diketahui, terdapat banyak teori dan pendekatan dalam memahami kemiskinan.
Namun jika disederhanakan, setidaknya dalam untuk keperluan penelitian ini,
maka terdapat dua paradigma atau teori besar (grand theory)
mengenai kemiskinan: yakni paradigma neo-liberal dan sosial demokrat. Kedua
paradigama tersebut pertama yang memandang kemiskinan dari kacamata struktural,
dan yang kedua secara individual. Pandangan ini kemudian menjadi basis dalam
menganalisis kemiskinan ataupun dalam merumuskan kebijakan dan program-program
yang berusaha mengatasi kemiskinan.
1. Teori
Neo-Liberal
Shannon,
Spicker, Cheyne, O’Brien dan Belgrave mengatakan bahwa kemiskinan merupakan
persoalan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang jika pertumbuhan
ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Ini berarti strategi penanggulangan
kemiskinan bersifat “residual” sementara, yang melibatkan keluarga, kelompok
swadaya atau lembaga keagamaan. Negara akan turut campur ketika lembaga-lembaga
di atas tidak lagi mampu menjalankan tugasnya. Penerapan Jaminan Pengaman
Sosial (JPS) di Indonesia adalah contoh nyata pengaruh teori ini.
Teori
neo-liberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas Hobbes,
John Lock dan John Stuart Mill yang intinya menyerukan bahwa komponen penting
dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi, karya
monumental Adam Smith, the Wealth of Nation (1776), dan Frederick Hayek, The Road to Serfdom (1944), dipandang sebagai
rujukan kaum neo-liberal yang mengedepankan azas laissez faire, yang oleh Cheyne, O’Brien dan Belgrave
(1998) disebut sebagai ide yang mengunggulkan “mekanisme pasar bebas” dan mengusulkan
“the almost complete absence of state’s intervention in the economy.” Secara
garis besar, para pendukung neo-liberal berargumen bahwa kemiskinan merupakan
persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan dan/atau
pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan
sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan
prtumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya.
Secara langsung, strategi penaggulangan
kemiskinan harus bersifat “residual”, sementara, dan hanya melibatkan keluarga,
kelompok-kelompok swadaya atau lembaga-lembaga keagamaan. Peran negara hanyalah
sebagai “penjaga malam” yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-lembaga di
atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya (Spicker, 1995; Cheyne, O’Brien dan
Belgrave, 1998). Penerapan program-program structural adjustment,
seperti Program Jaringan Pengaman Sosial atau JPS, di beberapa negara merupakan
contoh kongkrit dari pengaruh neo-liberal dalam bidang penanggulangan
kemiskinan ini.
Akan tetapi,
keyakinan yang berlebihan tehadap keunggulan mekanisme pasar dan pertumbuhan
ekonomi yang secara alamiah dianggap akan mampu mengatasi kemiskinan dan
ketidakdilan sosial mendapat kritik dari kaum sosial demokrat. Pendukung sosial
demokrat menyatakan bahwa “a free market did not lead to greater social wealth,
but to greater poverty and exploitation…a society is just when people’s needs
are met, and when inequality and exploitation in economic and social relations
are eliminated” (Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998).
2. Teori
Demokrasi Sosial
Teori ini
memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individu, melainkan struktural.
Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam
masyarakat akibat tersumbatnya akses kelompok kepada sumber-sumber
kemasyarakatan. Teori Demokrasi Sosial menekankan pentingnya manajemen dan
pendanaan negara dalam pemberian pelayanan sosial dasar (pendidikan, kesehatan,
perumahan, dan jaminan sosial) bagi seluruh warga negara. Karena meskipun teori
ini tidak anti sistem ekonomi kapitalis, namun merasa perlu ada sistem negara
yang mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Teori sosial
demokrat memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan
struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan
dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap
berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Teori yang berporos pada prinsip-prinsip
ekonomi campuran ini muncul sebagai jawaban terhadap depresi ekonomi yang terjadi
pada tahun 1920-an dan awal 1930-an. Sistem negara kesejahteraan yang
menekankan pentingnya manajemen dan pendanaan negara dalam pemberian pelayanan
sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan jaminan sosial,
sangat dipengaruhi oleh pendekatan “ekonomi manajemen-permintaan” (demand-management economics) gaya
Keynesian ini.
Meskipun
tidak setuju sepenuhnya terhadap sistem pasar bebas, kaum sosial demokrat tidak
memandang sistem ekonomi kapitalis sebagai evil. Bahkan kapitalis masih dipandang
sebagai bentuk pengorganisasian ekonomi yang paling efektif. Hanya saja,
kapitalisme perlu dilengkapi dengan sistem negara kesejahteraan agar lebih
berwajah manusiawi. “The welfare state acts as the human face of capitalism,”
demikian menurut Cheyne, O’Brien dan Belgrave, (1998).
Pendukung
sosial demokrat berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat penting dalam
memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan
jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber, seperti
pendidikian, kesehatan yang baik dan pendapatan yang cukup. Kebebasan lebih
dari sekadar bebas dari pengaruh luar; melainkan pula bebas dalam menentukan
pilihan-pilihan (choices). Dengan kata lain,
kebebasan berarti memiliki kemampuan (capabilities) untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya, kemampuan memenuhi kebutuhan
dasarnya, kemampuan menghindari kematian dini, kemampuan menghindari kekurangan
gizi, kemampuan membaca, menulis dan berkomunikasi. Negara karenanya memiliki
peranan dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi dalam
transaksi-transaksi kemasyarakatan yang memungkinkan mereka menentukan
pilihanpilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Menurut
pandangan sosial demokrat, strategi kemiskinan haruslah bersifat institusional
(melembaga). Program-program jaminan sosial dan bantuan sosial yang dianut di
AS, Eropa Barat, dan Jepang, merupakan contoh strategi anti kemiskinan yang
diwarnai oleh teori sosial demokrat. Jaminan sosial yang berbentuk pemberian tunjangan
pendapatan atau dana pensiun, misalnya, dapat meningkatkan kebebasan karena
dapat menyediakan penghasilan dasar dengan mana orang akan memiliki kemampuan
(capabilities) untuk memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihanpilihannya
(choices). Sebaliknya, ketiadaan pelayanan dasar tersebut dapat menyebabkan
ketergantungan (dependency) karena dapat membuat orang tidak memiliki kemampuan
dalam memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya.
Dirumuskan
secara tajam, maka dapat dikatakan bahwa kaum neoliberal memandang bahwa
strategi penanggulangan kemiskinan yang melembaga merupakan tindakan yang tidak
ekonomis dan menyebabkan ketergantungan. Sebaliknya, pendukung sosial demokrat
meyakini bahwa penanggulangan kemiskinan yang bersifat residual, beorientasi
proyek jangka pendek, justru merupakan strategi yang hanya menghabiskan dana
saja karena efeknya juga singkat, terbatas dan tidak berwawasan pemberdayaan
dan keberlanjutan. Apabila kaum neoliberal melihat bahwa jaminan sosial dapat
menghambat “kebebasan”, kaum sosial demokrat justru meyakini bahwa ketiadaan
sumber-sumber finansial yang mapan itulah yang justru dapat menghilangkan
“kebebasan”, karena membatasi dan bahkan menghilangkan kemampuan individu dalam
menentukan pilihan-pilihannya (choices).
3. Teori Marjinal
Teori
Marjinal berasumsi bahwa kemiskinan di perkotaan terjadi
dikarenakan adanya ‘kebudayaan kemiskinan’ (culture of poverty) yang
tersosialisasi di kalangan masyarakat atau komunitas tertentu.
Oscar Lewis (1966) adalah tokoh dari
aliran teori Marjinal, konsepnya yang terkenal adalah Culture of Poverty . Menurut Lewis, masyarakat di
Dunia Ketiga menjadi miskin karena adanya Culture of Poverty (Kebudayaan
Kemiskinan) , dengan karakter:
·
Apatis, menyerah pada nasib
·
Sistem-sistem keluarga yang tidak mantap
·
Kurang pendidikan
·
Kurang ambisi untuk membangun masa depan
·
Kejahatan dan kekerasan merupakan hal yang lumrah
Ada 2 (dua) pendekatan pererencanaan
yang bersumber dari pandangan Teori Marjinal:
·
Prakarsa harus datang dari luar komunitas.
·
Perencanaan harus berfokus pada perubahan
nilai, karena akar masalah ada pada nilai.
4. Teori
Development
Teori
Developmental (bercorak pembangunan) muncul dari teori-teori pembangunan
terutama neo liberal. Teori ini mencari akar masalah kemiskinan pada
persoalan ekonomi dan masyarakat sebagai satu kesatuan
Ada 3 (tiga asumsi dasar dari teoeri
ini:
·
Negara menjadi miskin karena ketiadaan atribut
industrialisasi, modal, kemampuan menajerial, dan prasarana yg di perlukan
untuk peningkatan ekonomi
·
Pertumbuhan ekonomi adalah kriteria utama pembangunan
yang dianggap dapat mengatasi masalah-masalah ketimpangan
·
Kemiskinan akan hilang dengan sendiri bila pasar
diperluas sebesar-besaranya dan pertumbuhan ekonomi dipacu
setinggi-tingginya.Ketiga asumsi tersebut, terlihat bahwa kemiskinan yang
terjadi di kota-kota bukan persoalan budaya, sebagaimana anggapan penganut
Teori Marjinal (Cultur of Poverty) melainkan
persolana ekonomi dan pembangunan.
Implikasi Teori Developmental pada
Perencanaan dan kebijakan:
·
Bahwa rencana-rencana pembangunan harus diarahkan pada
kekuatan-kekuatan produksi, efisiensi perkotaan, penghematan skala (economic of scale) dan perolehan modal investasi.
·
Perencanaan pembangunan harus diarahkan pada
peningkatan prasarana yang dapat mengatasi masalah ketimpangan.
·
Perencanaan untuk meningkatkan penyediaan sarana dan
prasarana pendidikan dan kesehatan.
·
Perencanaan-proyek-proyek pemberdayaan
masyarakat (community empowerment)
5. Teori
Struktural
Teori ini
didasari oleh pemikiran yang berasal dari Teori Dependency (Teori
Ketergantungan) yang diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank (1967) “Capitalism
and the Underdevelopment in Latin America”, dan juga oleh Teothonio Dos Santos,
dan Samir.Teori Struktural berasumsi bahwa kemiskinan dikota-kota Dunia Ketiga
terjadi bukan karena persoalan budaya, dan juga bukan bukan persoalan
pembangunan ekonomi, melainkan persoalan struktural, yang hanya dapat
dijelaskan dalam konstelasi politik-ekonomi Dunia.
Teori Dependensi mengajukan 3 asumsi
utama:
·
Dunia didominasi oleh suatu perekonomian tunggal
sedemikian rupa sehingga semua negara di Dunia diintegrasikan ke dalam
lingkungan produksi kapitalisme yg menyebabkan keterbelakangan di negara
Periphery.
·
Negara-negara Core (Inti) menarik surplus dari
negara-negara periphery melalui suatu
matarantai metropolis-satelit.
·
Sebagai akibatnya negara-negara Periphery menjadi
semakin miskin, dan negara-negara Core menjadi semakin kaya.
Dengan berdasar pd pemikiran
Dependency tsb, Teori Struktural mengajukan asumsi bahwa kemiskinan di Dunia
Ketiga harus dilihat pada suatu konstelasi ekonomi internasional dan struktur
politik global yg menerangkan bhw ketergantunganlah itulah yg menjadi penyebab
negara-negara terkebelakang & masyarakatnya menjadi makin miskin.
Pendekatan Perencanaan yang
bersumber dari asumsi-asumsi Teori Struktural dan Dependency:
·
Kemiskinan harus dilihat secara dinamis dari bagaimana
usaha dan kemampuan kaum miskin itu sendiri dalam merespon kemiskinan mereka
·
Indikator kemikinan semestinya
merupakan indikator yg komposit dengan unit analisis keluarga (rumah tangga)
dan jaringan sosial (social work) yang ada disekitarnya.
·
Konsep kemampuan sosial (social capability) dipandang lebih lengkap dari pada
konsep pendapatan.
6. Teori
Artikulasi Modal Produksi
Teori
Artikulasi Moda Produksi adalah salah satu teoeri dalam jajaran studi-studi
pembangunan yang dikembangkan oleh Pierre-Phillipe Rey, Meillassoux, Terry, dan
Taylor, dari pemikiran Karya Karl Marx dan Frederic Engels mengenai Moda
Produksi (Mode of Poduction). Teori ini berasumsi bahwa
reproduksi kapitalisme di negara-negara periphery terjadi dalam suatu
simultanitas tunggal di mana pada sisi periphery, terjadi artikulasi dari
sedikitnya dua moda produksi (moda produksi kapitalis dan moda produksi
pra-kapitalis
Koeksistensi dari
kedua moda produksi tersebut menghasilkan eksploitasi tenaga kerja
murah dan problem akses bagi kelompok masyarakat miskin yg masih tetap berada
dalam ranah moda produksi pra-kapitalisme atau pra-kapitalis atau non-kapitalis
Strategi
penanganan kemiskinana ditawarkan oleh Teori Artikulasi Moda
Produksi dikenal dengan “person-in-environment”, dan
“person-in-situation” yang dianalogikan sebagai strategi “ikan-kail”
a.
Memberikan keterampilan memancing
b.
Menghilangkan dominasi kepemilikan kolam ikan oleh
keleompok elit dalam masyarakat.
c.
Mengupayakan perluasan akses pemasaran bagi penjualan
ikan.
Teori Artikulasi Moda Produksi
melandasai 2 (dua) macam pendekatan: Moderat dan Radikal
Pendekatan Moderat, meliputi:
a.
Pemberian bantuan sosial dan rehabilitasi sosial yang
diselenggarakan oleh panti-panti sosial
b.
Program jaminan perlindungan dan asuransi
kesejahteraan sosial.
c.
Program-program pemberdayaan masyarakat (Country/
society empowerment).
Pendekatan
Radikal meliputi:
·
Bahwa justeru di dalam masyarakat itu sendiri terjadi
ketidak-adilan dan ketimpangan, yang menyebabkan taraf hidup sebagain warna
masyarakatnya tetap saja rendah.
·
Karenanya kebijakan yang paling tepat adalah gerakan
untuk mengadakan reformasi dan tranformasi. terhadap berbagai intitusi yang dianggap
kurang menguntungkan kaum miskin.
2.3
MENGUKUR KEMISKINAN
Kemiskinan
bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan absolut
dan Kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard
yang konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah
contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi yang makan
dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500
kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Bank
Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dengan
pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk
pendapatan dibawah $2 per hari, dengan batasan ini maka diperkiraan pada 2001
1,1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang
didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari."Proporsi penduduk negara
berkembang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990
menjadi 21% pada 2001.Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk
dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang
separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu
tersebut.
Meskipun
kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang
kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini
menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah
pinggiran kota dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat
sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan
dalam pengertian ini keseluruhan negara kadang-kadang dianggap
miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut
sebagai negara berkembang.
2.4 FAKTOR-FAKTOR TIMBULNYA KEMISKINAN
Ada beberapa faktor yang
menyebabkan timbulnya kemiskinan, diantaranya :
A. Pendidikan
Yang Rendah
Tingkat pendidikan yang
rendah, menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan
tertentu yang diperlukan
dalam kehidupannya. Keterbatasan pendidikan / keterampilan yang
dimiliki menyebabkan
keterbatasan kemampuan untuk masuk dalam dunia kerja.
B. Malas
Bekerja
Merupakan suatu masalah yang
cukup memprihatinkan. Sikap malas ini cenderung untuk menggantungkan hidup pada
orang lain, baik dari keluarga, saudara atau famili yangdi pandang mempunyai
kemampuan untuk menanggung kebutuhan hidup mereka.
C. Keterbatasan
Sumber Alam
Kemiskinan akan melanda
suatu masyarakat apabila sumber alamnya tidak lagi memberikan
keuntungan bagi kehidupan
mereka. Sering dikatakan oleh para ahli bahwa masyarakat itu
miskin karena memang dasarnya
“alamiyah miskin”.Alamiyah miskin yang dimaksud disini adalah kekayaan alamnya,
misalnya tanahnya berbatu-batu, tidak menyimpan kekayaan mineral, dan
sebagainya. Dengan demikianlayaklah kalau miskin sumber daya alam miskin juga
masyarakatnya.
D. Terbatasnya
Lapangan Kerja
Keterbatsan lapangan kerja
akan membawa konsekuensi kemiskinan bagi masyarakat, secara
ideal banyak orang
mengatakan bahwa seseorang / masyarakat harus mampu menciptakanlapangan kerja
baru, tetapi secara factual hal tersebut kecil kemungkinannya. Karena adanya
keterbatasan kemampuan seseorang baik yang berupa skill maupun modal.
E. Keterbatasan
Modal
Keterbatasan modal adalah sebuah kenyataan yang ada di Negara-negara yang
sedang berkembang. Kenyataan tersebut membawa kemiskinan pada sebagaian
masyarakat di Negara tersebut.Seorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal
untuk melengkapi alat atau bahan dalam rangka menerapkan keterampilan yang
mereka miliki dengan suatu tujuan untuk memperoleh penghasilan.
F.
Beban Keluarga
Semakin banyak anggota keluarga akan semakin banyak/meningkat pula
tuntutan / beban untuk hidup yang harus dipenuhi. Seseorang yang mempunyai
anggota keluarga banyak apabila tidak di imbangi dengan usaha peningkatan
pendapatan sudah pasti akan menimbulkan kemiskinan karena mereka memang
berangkat dari kemiskinan.
G.
Laju
Pertumbuhan penduduk
Meningkatnya jumlah penduduk membuat Indonesia makin
terpuruk dengan keadaan ekonomi yang belum mapan. Jumlah penduduk yang bekerja
tidak sebanding dengan jumlah beban ketergantungan. Penghasilan yang minim
ditambah dengan banyaknya beban ketergantungan yang harus ditanggung membuat
penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.Pertumbuhan penduduk Indonesia terus
meningkat di setiap 10
tahun menurut hasil sensus penduduk. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS)
di tahun 1990 Indonesia memiliki 179 juta lebih penduduk. Kemudian di sensus
penduduk tahun 2000 penduduk meningkat sebesar 27 juta penduduk atau menjadi
206 juta jiwa. dapat diringkaskan pertambahan penduduk Indonesia persatuan waktu
adalah sebesar setiap tahun bertambah 2,04 juta orang pertahun atau, 170 ribu
orang perbulan atau 5.577 orang perhari atau 232 orang perjam atau 4 orang
permenit. Banyaknya jumlah penduduk ini membawa Indonesia menjadi negara ke-4
terbanyak penduduknya setelah China, India dan
Amerika.
Meningkatnya
jumlah penduduk membuat Indonesia semakin terpuruk dengan keadaan ekonomi yang
belum mapan. Jumlah penduduk yang bekerja tidak sebanding dengan jumlah beban
ketergantungan. Penghasilan yang minim ditambah dengan banyaknya beban
ketergantungan yang harus ditanggung membuat penduduk hidup di bawah garis
kemiskinan.
H.
Angkatan
Kerja , Penduduk yang bekerja dan pengangguran
Secara garis besar penduduk suatu negara dibagi
menjadi dua yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Yang tergolong sebagi tenaga kerja ialah penduduk yang berumur
didalam batas usia kerja. Batasan usia kerja berbeda-beda disetiap negara yang
satu dengan yang lain. Batas usia kerja yang dianut oleh Indonesia ialah
minimum 10 tahun tanpa batas umur maksimum. Jadi setiap orang atau semua penduduk berumur 10 tahun
tergolong sebagai tenaga kerja. Sisanya merupakan bukan tenaga kerja yang
selanjutnya dapat dimasukan dalam katergori beban ketergantungan. Tenaga kerja (manpower) dipilih pula kedalam dua kelompok yaitu angkatan kerja
(labor force) dan bukan angkatan kerja. Yang termasukangkatan kerja ialah tenaga kerja atau penduduk dalam
usia kerja yang bekerja atau mempunyai pekerjaan naun untuk sementara tidak
bekerja, dan yang mencari pekerjaan. Seangkan yang termasuk sebagai bukan angkatan kerja adalah tenaga kerja dalam usia kerja
yang tidak sedang bekerja, tidak mempunyai pekerjaan dan tidak sedang mencari
pekerjaan, yakni orang-orang yang kegiatannya bersekolah, mengurus rumah
tangga, serta orang yang menerima pendapatan tapi bukan merupakan imbalan
langsung atas jasa kerjanya.
Selanjutnya
angkatan kerja dibedakan pula menjadi dua subkelompok yaitu pekerja dan
penganggur. Yang dimaksud dengan pekerja adalah orang-orang yang mempunyai
pekerjaan, mencakup orang-orang yang mempunyai pekerjaan dan memang sedang
bekerja maupun orang yang memilki pekerjaan namun sedang tidak bekerja. Adapun
yang dimaksud denganpengangguran adalah
orang yang ridak mempunyai pekerjaan, lengkapnya orang yang tidak bekerja dan
mencari pekerjaan. Pengangguran semacam ini oleh BPS dikatergorikan sebgai
pengangguran terbuka. (Dumairy, 1996).
I.
Distribusi
Pendapatan dan pemerataan pembangunan
Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau timpangnya
pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Kriteria
ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang
dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk berpendapatan rendah
(penduduk miskin); 40% penduduk berpendapatan menengah; serta 20% penduduk
berpemdapatan tertinggi (penduduk terkaya). Ketimpangan dan ketidakmerataan
distribusi dinyatakan parah apabila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati
kurang dari 12 persen pendapatan nasional. Ketidakmerataan dianggap sedang atau
moderat bila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati 12 hingga 17 persen
pendapatan nasional. Sedangkan jika 40% penduduk miskin menikmati lebih dari 17
persen pendapatan nasional makan ketimpangan atau kesenjangan dikatakan lunak,
distribusi pendapatan nasional dikatakan cukup merata. (Dumairy, 1996).
Pendapatan penduduk yang didapatkan dari hasil
pekerjaan yang mereka lakukan relatif tidak dapat memenuhi kebutuhan
sehari-hari sedangkan ada sebagian penduduk di Indonesia mempunyai pendapatan
yang berlebih. Ini disebut juga sebagai ketimpangan. Ketimpangan pendapatan
yang ekstrem dapat menyebabkan inefisiensi ekonomi. Penyebabnya sebagian adalah
pada tingkat pendapatan rata ± rata bearapa pun, ketimpangan yang semakin
tinggi akan menyebabkan semakin kecilnya bagian populasi yang memenuhi syarat
untuk mendapatkan pinjaman atau sumber kredit. Selain itu ketimpangan dapat
menyebabkan alokasi aset yang tidak efisien. Ketimpangan yang tinggi
menyebabkan penekanan yang terlalu tinggi pada pendidikan tinggi dengan
mengorbankan kualitas universal pendidikan dasar, dan kemudian menyebabkan
kesenjangan pendapatan yang semakin melebar. (Todaro, 2006).
Ketimpangan
pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung dan berwujud dalam berbagai
bentuk dan aspek atau dimensi. Bukan saja berupa ketimpangan hasil-hasilnya,
misalnya dalam hal pendapatan per kapita tetapi juga ketimpangan kegiatan atau
proses pembangunan itu sendiri. Bukan pula semata-mata berupa ketimpangan
spasial atau antar daerah tetapi ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional.Ketimpangan
sektoral dan regional dapat ditengarai antara lain dengan menelaah perbedaan
mencolok dalam aspek ±aspek seperti penyerapan tenaga kerja, alokasi dana
perbankan, investasi dan pertumbuhan.
Ketimpangan pertumbuhan antarsektor, khususnya antara
sektor pertanian dan sektor industry pengolahan harus disikapi secara arif.
Ketimpangan pertumbuhan sektoral ini bukanlah kecelakaan atau ekses
pembangunan. Ketimpangan ini lebih kepada suatu hal yang terencana dan memang
disengaja terkait dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai negara industry.
Akan tetapi sampai sejauh manakah ketimpangan ini apat ditolerir? Pemerintah
perlu memikirkan kembali perihal ketepatan keputusan menggunakan industrialisasi
sebgai jalur pembangunan karena akan sangat berdampak bagi pendapatan penduduk
dan selanjutnya kemiskinan. (Dumairy, 1996)
J.
Kurangnya
perhatian dari pemerintah
Pemerintah yang kurang
peka terhadap laju pertumbuhan masyarakat miskin dapat menjadi salah satu faktor
kemiskinan. Pemerintah tidak dapat memutuskan kebijakan yang mampu
mengendalikan tingkat kemiskinan di negaranya.
2.5
KEMISKINAN DI SUMATERA UTARA
Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara hingga September
2012 lalu mencapai 1,4 juta jiwa. Meski setiap tahun terjadi penurunan angka
kemiskinan, namun tidak mampu menandingi laju pertumbuhan ekonomi Sumut.Secara
rinci, kenaikan pertumbuhan ekonomi Sumut rata-rata sebesar 6% pertahun,
sedangkan penurunan angka kemiskinan hanya turun 5%. Artinya, elastisitas
tingkat kemiskinan Sumut terhadap pertumbuhan ekonomi di bawah 1 angka.Target
pencapai penurunan kemiskinan tahun 2014 diangka 10% dan target MDG's sebesar
7,5% tahun 2015 mendatang.
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terus berupaya mengurangi
angka kemiskinan. Untuk itu, semua pihak harus saling bantu agar masalah
kemiskinan menurun dari tahun ketahun. Di sisi lain, upaya untuk mengurangi
tingkat kemiskinan di Sumut juga dipengaruhi kinerja ekspor Sumut yang
berkorelasi erat dengan penurunan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Tantangan eksternal masih menjadi kendala terbesar dalam
mengentaskan kemiskinan di Sumut. Pengurangan subsidi BBM dan TDL ternyata juga
menjadi salah satu pemicu kemiskinan karena mempengaruhi sejumlah sektor
industri dan UMKM.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh mengurangi tingkat kemiskinan di Sumut adalah dengan mengandalkan pertumbuhan ekonomi berbasis sektor konsumsi. Selain itu, Pemprov Sumut akan mengoptimalkan anggaran pemerintah daerah, termasuk memaksimalkan proyek infrastruktur.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh mengurangi tingkat kemiskinan di Sumut adalah dengan mengandalkan pertumbuhan ekonomi berbasis sektor konsumsi. Selain itu, Pemprov Sumut akan mengoptimalkan anggaran pemerintah daerah, termasuk memaksimalkan proyek infrastruktur.
Jumlah penduduk miskin, yakni penduduk yang berada di bawah
Garis Kemiskinan, di Sumatera Utara pada bulan Maret 2009 sebesar 1.499.700
orang (11,51 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2008
yang berjumlah 1.613.800 orang (12,55 persen), berarti jumlah penduduk miskin
di Provinsi Sumatera Utara berkurang sebanyak 114.100 orang (1,04 persen).
Selama periode Maret 2008 – Maret 2009, penduduk miskin di daerah perdesaan
berkurang 40.400 orang (0,73 persen), sementara di daerah perkotaan berkurang
73.700 orang (1,40 persen).
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan dan perdesaan
tidak banyak berbeda. Pada bulan Maret 2009, penduduk miskin berada di daerah
perdesaan sebesar 11,56 persen dan di daerah perkotaan sebesar 11,45
persen.Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sumatera Utara relatif kecil
perubahannya dari tahun 2008 ke tahun 2009, yaitu dari 0,58 menjadi 0,50. Untuk
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), angkanya sedikit mengalami penurunan, yakni
dari 2,17 menjadi 1,92. Ini mengindikasikan bahwa kondisi atau rata-rata
pengeluaran penduduk miskin dan tingkat kesenjangan semakin kecil selama
periode satu tahun ini.
Jumlah penduduk miskin, yakni penduduk yang berada di bawah
Garis Kemiskinan, di Sumatera Utara pada bulan Maret 2011 sebanyak 1.481.300
orang (11,33 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2010
yang berjumlah 1.490.900 orang (11,31 persen), berarti jumlah penduduk miskin
di Provinsi Sumatera Utara berkurang sebanyak 9.600 orang. Selama periode Maret
2010, Maret 2011, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 11.700 orang,
sementara di daerah perkotaan bertambah sekitar 2.100.
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan dan perdesaan tidak terlalu jauh berbeda.
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan dan perdesaan tidak terlalu jauh berbeda.
Pada bulan Maret 2011, penduduk miskin berada di daerah
perdesaan sebesar 11,89 persen dan di daerah perkotaan sebesar 10,75
persen.Pada bulan Maret 2011 garis kemiskinan Sumatera Utara sebesar Rp.
246.560,- per kapita per bulan. Untuk daerah perkotaan, garis kemiskinannya sebesar
Rp. 271.713,- per kapita per bulan, dan untuk daerah perdesaan sebesar Rp.
222.226,- per kapita per bulan.Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sumatera
Utara tahun 2011 menurun dibanding tahun 2010, yaitu menjadi 0,51 dari 0,57.
Demikian pula untuk Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), angkanya mengalami
penurunan, yakni dari 2,04 tahun 2010 menjadi 1,84 pada tahun 2011. Ini
mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin
mendekati garis kemiskinan dan tingkat ketimpangannya juga semakin menurun.
Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara hingga September 2012 lalu mencapai
1,4 juta jiwa. Meski setiap tahun terjadi penurunan angka kemiskinan, namun
tidak mampu menandingi laju pertumbuhan ekonomi Sumut.
Tahun 2013, Ekonomi Sumut dihantam oleh penurunan harga komoditas
dunia serta kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM tersebut tidak dapat
dipungkiri telah menterpurukkan daya beli masyarakat Sumut karena laju tekanan
inflasi meroket cukup signifikan.Meskipun Sumut mampu mencetak pertumbuhan
ekonomi sekitar 5.8 hingga persen, akan tetapi dengan laju inflasi yang lebih
dari 10 persen, Sumut mengalami pertumbuhan negatif sekitar 4 persen.
Penambahan tenaga kerja akibat aktifitas ekonomi Sumut tidak mampu mengimbangi
penambahan jumlah angka kemiskinan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), wilayah Sumut
mencatatkan pertumbuhan jumlah angka kemiskinan sebesar 51.600 jiwa di bulan
september 2013. atau bertambah hampir 4% dari maret 2013 ke September 2013.
Tidak jauh berbeda dengan realisasi angka pertumbuhan negatif Sumut yang juga
berkisar 4%.Sumut masih berkutat dengan model lama dalam menjalankan roda
perekonomiannya. Yakni dengan lebih mengedepankan cara-cara tradisional yang
menjual bahan mentah yang tidak berorientasi ke pengguna akhir serta bergantung
pada volatilitas harga komoditas dunia, yang sayangnya di tahun 2013 tidak
begitu bersahabat.Sumut membutuhkan cara-cara baru agar keluar dari pertumbuhan
ekonomi yang kurang berkualitas. Banyak yang harus dilakukan Sumut untuk berbenah
dalam jangka panjang. Selain masalah infrastruktur hingga ke regulasi, komponen
bahan baku penolong impor yang besar juga menyisahkan masalah disisi lain.
Disisi lain, cetak biru pembangunan Sumut juga masih banyak
mengandalkan program-program pembangunan dari pemerintah pusat. Yang kita
butuhkan adalah akselerasi dan inovasi. Apalah artinya pertumbuhan ekonomi yang
tinggi bila inflasinya jauh lebih tinggi lagi. Pertumbuhan ekonomi yang di
besar-besarkan tidak bermanfaat sama sekali bila orang miskinnya juga tambah
banyak.Pada hakikatnya pertumbuhan ekonomi yang diciptakan adalah untuk
kesejahteraan masyarakat. Tapi jika penduduk miskinnya bertambah, maka jelas jalan kita masih kita jauh
menuju kesejahteraan.
Tabel 1
Jumlah dan Persentase Penduduk
Miskin Sumatera Utara dan Nasional Tahun 1999 – 2013
Tahun
|
Jumlah
(ribu jiwa)
|
Persentase
(%)
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
1 972,7
|
16,74
|
|
Februari 2002
|
1 883,9
|
15,84
|
Februari 2003
|
1 889,4
|
15,89
|
Maret 2004
|
1 800,1
|
14,93
|
Juli 2005
|
1 840,2
|
14,68
|
Mei 2006
|
1 979,7
|
15,66
|
Maret 2007
|
1 768,4
|
13,90
|
Maret 2008
|
1 613,8
|
12,55
|
Maret 2009
|
1 499,7
|
11,51
|
Maret 2010
|
1 490,9
|
11,31
|
Maret 2011
|
1 481,3
|
11,33
|
Maret 2012
|
1 407,2
|
10,67
|
September 2012
|
1 378,4
|
10,41
|
Maret 2013
|
1 339,2
|
10,06
|
September 2013
|
1 390,8
|
10,39
|
Sumber : Diolah dari data Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
Tabel 2
menunjukkan bahwa angka kemiskinan, pengangguran Indonesia masih berada pada
angka dua digit.
Tabel
2. Data Kemiskinan dan pengangguran Indonesia
|
||||
Tahun
|
Persentase
penduduk miskin (%)
|
Tahun
|
Persentase
pengangguran (%)
|
|
2007
|
16.58
|
2002
|
9,06
|
|
2008
|
15.42
|
2003
|
9,57
|
|
2009
|
14.15
|
2004
|
9,86
|
|
2010
|
13.33
|
2005
|
10,26
|
|
2011
|
12.49
|
2006
|
10,28
|
|
2012
|
11.96
|
2007
|
9,12
|
|
Sumber : BPS, 2012
|
Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara
(Sumut) memang terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Namun
penurunan angka kemiskinan di Sumut tidak sebesar laju pertumbuhan ekonominya.
Setiap kenaikan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6%, maka angka kemiskinan
di Sumut rata-rata turun 5%. Atau dengan kata lain, elastisitas tingkat
kemiskinan Sumut terhadap pertumbuhan ekonominya di bawah angka 1.
Lebih jauh, ternyata
penurunan tingkat kemiskinan di Sumut sangat dipengaruhi kinerja ekspor Sumut.
Bila ditarik kesimpulan maka baik ekspor, PDRB dan tingkat kemiskinan sangat
berkorelasi erat. Akhir-akhir ini kualitas penurunan angka kemiskinan di Sumut
mulai melambat seiring dengan melambatnya kinerja ekspor maupun PDRB Sumut.
Penurunan angka kemiskinan
Sumut sangat dipengaruhi oleh kinerja ekspor Sumut. Untuk itu di tahun 2013 ini
sejumlah tantangan eksternal masih akan menjadi masalah besar dalam pengentasan
kemiskinan di Sumut, masalah anggaran AS serta ketidakpercayaan masyarakat Eropa terkait
dengan proses pemulihan krisis berpotensi mengancam ekspor dan membuat kerja
pemerintah Sumut dalam mengentaskan kemiskinan stagnan. Dengan mengandalkan
pertumbuhan berbasiskan konsumsi serta minimnya ekspor akibat anjloknya harga
komoditas. maka mustahil bila jumlah penduduk miskin di Sumut yang per
September 2012 sebesar 1.4 juta jiwa akan turun signifikan dan tingkat
kemiskinan di tekan hingga di bawah level 10%.Ditambah lagi pengurangan subsidi
(BBM dan TDL) sangat berkorelasi terhadap peningkatan angka kemiskinan di
Sumut. Kenaikan TDL dan kemungkinan naiknya harga BBM berpotensi menambah angka
kemiskinan di Sumatera Utara. Meskipun harga-harga komoditas memang berpotensi
menguat di semester II/2013 walaupun kecil sekali kemungkinannya, namun itu
tidaklah cukup.Optimalisasi anggaran pemerintah daerah serta optimalisasi proyek
infrastruktur juga dikhawatirkan belum akan mampu menekan angka kemiskinan di
bawah 10 persen pada tahun ini, Disebutkan juga, per September 2012 tingkat
kemiskinan Sumut berada di 10.41%. Terlihat untuk menurunkan angkanya di bawah
10% bukanlah perkara yang sulit. Dengan sejumlah masalah baik internal dan
eksternal maka dibutuhkan kerja keras untuk menekan angka pengangguran
tersebut. Semua pihak harus bekerja keras, agar kita mendapat keajaiban dengan
mampu menurunkan angka kemiskinan di bawah 10%.
2.6 STRATEGI
PENGENTASAN KEMISKINAN
A. Upaya Pemerintah Mengatasi
Kemiskinan
Salah
satu upaya yang dapat ditempuh mengurangi tingkat kemiskinan di Sumut adalah
dengan mengandalkan pertumbuhan ekonomi berbasis sektor konsumsi. Sebagai
wujud gerakan bersama dalam mengatasi kemiskinan dan mencapai Tujuan
pembangunan Milenium, Strategi Nasional Pembangunan Kemiskinan (SPNK) telah
disusun melalui proses partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholders
pembangunan di Indonesia. Selain itu, sekitar 60 % pemerintah kabupaten/ kota
telah membentuk Komite penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPKD) dan menyusun
Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) sebagai dasar arus utama
penanggulangan kemiskinan di daerah dan mendorong gerakan sosial dalam
mengatasi kemiskinan.keren.web.id
Adapun langkah jangka pendek yang diprioritaskan
antara lain sebagai berikut:
* Mengurangi kesenjangan antar daerah dengan;
penyediaan sarana-sarana irigasi, air bersih dan sanitasi dasar terutama
daerah-daerah langka sumber air bersih, pembangunan jalan, jembatan, dan
dermaga daerah-daerah tertinggal, redistribusi sumber dana kepada daerah-daerah
yang memiliki pendapatan rendah dengan instrumen Dana Alokasi Khusus (DAK) .
* Perluasan kesempatan kerja dan berusaha dilakukan
melalui bantuan dana stimulan untuk modal usaha, pelatihan keterampilan kerja dan
meningkatkan investasi dan revitalisasi industri.
* Khusus untuk pemenuhan sarana hak dasar penduduk
miskin diberikan pelayanan antara lain : pendidikan gratis sebagai penuntasan
program belajar 9 tahun termasuk tunjangan bagi murid yang kurang mampu, jaminan
pemeliharaan kesehatan gratis bagi penduduk miskin di puskesmas dan rumah sakit
kelas tiga.
Komitmen
pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan tercantum dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 yang disusun berdasarkan Strategi Nasional
Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Disamping turut menandatangani Tujuan
Pembangunan Milenium (atau Millennium Development Goals) untuk tahun 2015,
dalam RPJM-nya pemerintah telah menyusun tujuan-tujuan pokok dalam pengentasan
kemiskinan untuk tahun 2009, termasuk target ambisius untuk mengurangi angka
kemiskinan dari 18,2 persen pada tahun 2002 menjadi 8,2 persen pada tahun 2009.
Dalam pelaksanaan program pengentasan nasib orang miskin, keberhasilannya bergantung pada langkah awal dari formulasi kebijakan, yaitu mengidentifikasikan siapa sebenarnya “si miskin” tersebut dan dimana ia berada. Kedua pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan melihat profil dari si miskin.
Dalam pelaksanaan program pengentasan nasib orang miskin, keberhasilannya bergantung pada langkah awal dari formulasi kebijakan, yaitu mengidentifikasikan siapa sebenarnya “si miskin” tersebut dan dimana ia berada. Kedua pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan melihat profil dari si miskin.
Strategi pengentasan
kemiskinan yang terdiri dari tiga komponen:
a.
Membuat Pertumbuhan Ekonomi Bermanfaat bagi
Rakyat Miskin.
Pertumbuhan
ekonomi telah dan akan tetap menjadi landasan bagi pengentasan kemiskinan.
Pertama, langkah membuat pertumbuhan bermanfaat bagi rakyat miskin merupakan
kunci bagi upaya untuk mengkaitkan masyarakat miskin dengan proses pertumbuhan
baik dalam konteks pedesaan-perkotaan ataupun dalam berbagai pengelompokan
berdasarkan daerah dan pulau. Hal ini sangat mendasar dalam menangani aspek
perbedaan antar daerah. Kedua, dalam menangani ciri kerentanan kemiskinan yang berkaitan
dengan padatnya konsentrasi distribusi pendapatan di Indonesia, apapun yang
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat akan dapat dengan cepat mengurangi
angka kemiskinan serta kerentanan kemiskinan.
Membuat
pertumbuhan bermanfaat bagi masyarakat miskin memerlukan langkah untuk membawa
mereka pada jalan yang efektif untuk keluar dari kemiskinan. Hal ini berarti
memanfaatkan transformasi struktural yang sedang berlangsung di Indonesia yang
ditandai oleh dua fenomena. Pertama, sedang terjadi pergeseran dari kegiatan
yang berbasis pedesaan ke kegiatan yang berbasis perkotaan. Kedua, telah
terjadi pergeseran yang menonjol dari kegiatan bertani (farm) ke kegiatan
non-tani (non-farm). Transformasi ini menunjukan adanya dua jalan penting yang
telah diambil oleh rumah tangga untuk keluar dari kemiskinan di Indonesia.
1. Peningkatan
produktivitas pertanian.
2. Peningkatan
produktivitas non-pertanian, baik di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan
yang “dikotakan” dengan cepat.
b.
Membuat Layanan Sosial Bermanfaat bagi
Rakyat Miskin.
Penyediaan
layanan sosial bagi rakyat miskin baik oleh sektor pemerintah ataupun sektor
swasta-adalah mutlak dalam penanganan kemiskinan di Indonesia. Pertama, hal itu
merupakan kunci dalam menyikapi dimensi non-pendapatan kemiskinan di Indonesia.
Indikator pembangunan manusia yang kurang baik, misalnya Angka Kematian Ibu
yang tinggi, harus diatasi dengan memperbaiki kualitas layanan yang tersedia
untuk masyarakat miskin. Hal ini lebih dari sekedar persoalan yang bekaitan dengan
pengeluaran pemerintah, karena berkaitan dengan perbaikan sistem
pertanggungjawaban, mekanisme penyediaan layanan, dan bahkan proses
kepemerintahan.
Kedua, ciri
keragaman antar daerah kebanyakan dicerminkan oleh perbedaan dalam akses
terhadap layanan, yang pada akhirnya mengakibatkan adanya perbedaan dalam
pencapaian indikator pembangunan manusia di berbagai daerah. Dengan demikian,
membuat layanan masyarakat bermanfaat bagi rakyat miskin merupakan kunci dalam
menangani masalah kemiskinan dalam konteks keragaman antar daerah.Membuat
layanan bermanfaat bagi masyarakat miskin memerlukan perbaikan sistem
pertanggungjawaban kelembagaan dan memberikan insentif bagi perbaikan indikator
pembangunan manusia. Saat ini, penyediaan layanan yang kurang baik merupakan
inti persoalan rendahnya indikator pembangunan manusia, atau kemiskinan dalam
dimensi non-pendapatan, seperti buruknya pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Bidang lain yang memerlukan perhatian adalah perbaikan akses bagi masyarakat
miskin terhadap pelayanan untuk menekan kesenjangan antar daerah dalam hal
indikator pembangunan manusia. Di bidang pendidikan, salah satu masalah kunci
adalah tingginya angka putus sekolah di masyarakat miskin pada saat mereka
melanjutkan pendidikan dari SD ke SMP.
c.
Membuat Pengeluaran Pemerintah Bermanfaat
bagi Rakyat Miskin.
Di samping
pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, dengan menentukan sasaran pengeluaran
untuk rakyat miskin, pemerintah dapat membantu mereka dalam menghadapi
kemiskinan (baik dari segi pendapatan maupun non-pendapatan). Pertama,
pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk membantu mereka yang rentan
terhadap kemiskinan dari segi pendapatan melalui suatu sistem perlindungan
sosial modern yang meningkatkan kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi ketidakpastian
ekonomi. Kedua, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk memperbaiki
indikator-indikator pembangunan manusia, sehingga dapat mengatasi kemiskinan
dari aspek non-pendapatan.
Membuat
pengeluaran bermanfaat bagi masyarakat miskin sangat menentukan saat ini,
terutama mengingat adanya peluang dari sisi fiscal yang ada di Indonesia saat
kini.Pengurangan subsidi BBM merupakan langkah besar ke arah pengeluaran publik
pemerintah yang lebih berpihak pada masyarakat miskin. Sampai saat ini,
pengeluaran pemerintah tidak selalu bisa secara efektif mengatasi kendala yang
dihadapi masyarakat miskin untuk keluar dari kemiskinan.
Ketika
pemerintah memperoleh kelonggaran fiskal menyusul realokasi subsidi BBM yang
regresif, penting untuk memastikan bahwa pengeluaran tersebut benar-benar
berdampak positif bagi masyarakat miskin. Sekarang pemerintah mempunyai
kesempatan untuk menangani masalah kerentanan tinggi masyarakat miskin di
Indonesia dengan cara mengarahkan belanja pemerintah ke dalam sistem jaminan
sosial yang mampu mengurangi kerentanan tersebut. Salah satu komponen penting
dari realokasi pengeluaran pemerintah adalah memusatkan perhatian pada upaya
peningkatan penghasilan masyarakat miskin. Pengeluaran pemerintah yang bisa
berdampak langsung pada peningkatan penghasilan juga akan berdampak positif
pada penanganan kemiskinan. Salah satu prioritas yang bisa dikedepankan-dan
telah dimulai oleh pemerintah-ialah memperluas cakupan pembangunan berbasis
masyarakat (community driven development atau CDD).
B. Strategi Pengentasan Kemiskinan Di Sumatera Utara
Salah satu upaya
yang dapat ditempuh mengurangi tingkat kemiskinan di Sumut adalah dengan
mengandalkan pertumbuhan ekonomi berbasis sektor konsumsi. Selain itu, Pemprov
Sumut akan mengoptimalkan anggaran pemerintah daerah, termasuk memaksimalkan
proyek infrastruktur. Di sisi lain, upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan
di Sumut juga dipengaruhi kinerja ekspor Sumut yang berkorelasi erat dengan
penurunan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dengan
sejumlah masalah baik internal dan eksternal maka dibutuhkan kerja keras untuk
menekan angka kemiskinan dan pengangguran tersebut. Semua pihak harus bekerja keras, agar
mendapat keajaiban dengan mampu menurunkan angka kemiskinan di bawah 10%. spor maupun PDRB Sumut.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS), Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara
hingga September 2013 lalu mencapai 1 390,8 ribu jiwa, dengan
persentase 10,39%. Meski
setiap tahun terjadi penurunan angka kemiskinan, namun tidak mampu menandingi
laju pertumbuhan ekonomi Sumut. Jumlah penduduk miskin
di Sumatera Utara (Sumut) memang terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Namun penurunan angka kemiskinan di Sumut tidak sebesar laju pertumbuhan
ekonominya. Setiap kenaikan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6%, maka angka
kemiskinan di Sumut rata-rata turun 5%. Atau dengan kata lain, elastisitas
tingkat kemiskinan Sumut terhadap pertumbuhan ekonominya di bawah angka 1.
Lebih jauh, ternyata penurunan tingkat
kemiskinan di Sumut sangat dipengaruhi kinerja ekspor Sumut. Bila ditarik
kesimpulan maka baik ekspor, PDRB dan tingkat kemiskinan sangat berkorelasi
erat. Akhir-akhir ini kualitas penurunan angka kemiskinan di Sumut mulai
melambat seiring dengan melambatnya kinerja ek
Tantangan eksternal masih menjadi kendala terbesar dalam mengentaskan
kemiskinan di Sumut. Pengurangan subsidi BBM dan TDL ternyata juga menjadi
salah satu pemicu kemiskinan karena mempengaruhi sejumlah sektor industri dan
UMKM.
Salah satu upaya
yang dapat ditempuh mengurangi tingkat kemiskinan di Sumut adalah dengan
mengandalkan pertumbuhan ekonomi berbasis sektor konsumsi. Selain itu, Pemprov
Sumut akan mengoptimalkan anggaran pemerintah daerah, termasuk memaksimalkan
proyek infrastruktur. Di sisi lain, upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan
di Sumut juga dipengaruhi kinerja ekspor Sumut yang berkorelasi erat dengan
penurunan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dengan
sejumlah masalah baik internal dan eksternal maka dibutuhkan kerja keras untuk
menekan angka kemiskinan dan pengangguran tersebut. Semua pihak harus bekerja keras, agar
mendapat keajaiban dengan mampu menurunkan angka kemiskinan di bawah 10%. spor maupun PDRB Sumut.
Target pencapai
penurunan kemiskinan tahun 2014 diangka 10% dan target MDG's sebesar 7,5% tahun
2015 mendatang. Kini
pemerintah Provinsi Sumatera
Utara terus berupaya mengurangi angka kemiskinan. Untuk itu, semua pihak harus
saling bantu agar masalah kemiskinan menurun dari tahun ketahun.
3.2 SARAN
Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara
(Sumut) memang terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Namun
penurunan angka kemiskinan di Sumut tidak sebesar laju pertumbuhan ekonominya. Untuk itu, pemerintah Provinsi Sumatera Utara harus terus berupaya mengurangi angka kemiskinan, tetapi bukan hanya pemerintah
saja yang turun tangan dalam menangani masalah ini,tetapi semua pihak harus saling bantu agar masalah
kemiskinan menurun dari tahun ketahun.
DAFTAR PUSTAKA
Andifachriani,
Masalah Kemiskinan, diakses 30 Mei 2014 (http://andifachriani.blogspot.com/2012/01/makalah-kemiskinan.html)
Badan Pusat Statistik, Profil Kemiskinan di Indonesia
Maret 2009, diakses 03 Mei 2014 (http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan-01jul09.pdf)
Badan Pusat
Statistik Sumatera Utara, Jumlah dan Presentasi penduduk
Miskin Sumatera Utara, diakses 30 Mei 2014
(http://sumut.bps.go.id)
Fadliansyah, Teori Kemiskinan, diakses 17 April 2014 (http://www.scribd.com/doc/14597304/TEORI-KEMISKINAN)
Rajasa M Hatta,
Mengatasi Kemiskinan di Indonesia, diakses 03 Mei 2014 (http://cidesonline.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=118)
Todaro
Michael P dan Smith Stephen C.
Pembangunan Ekonomi. Terjemahan :Mundandar Haris. Jakarta : Penerbit
Erlangga.
Oiya ngomongin kemiskinan, kayaknya nyambung deh sama artikel yang saya temuin baru-baru ini. Di artikel ini disebutkan kalo ada beberapa kesalahan yang bikin seseorang ga pernah jadi kaya. Cek di sini ya: Kesalahan yang bikin kamu tidak pernah kaya, wajib dihindari!
BalasHapus