SELAMAT DATANG DI BLOG ROMA

Senin, 17 November 2014

Makalah MINI RISET “KEMISKINAN DI SUMATERA UTARA”

MINI RISET
“KEMISKINAN DI SUMATERA UTARA”
Dikerjakan Untuk Memenuhi  Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Ekonomi Pembangunan
DOSEN PENGAMPU :
Dr. Eko W. Nugrahadi, M.si
Oleh :
NAMA      : NURLITA SARI PANDIANGAN
NIM           : 7123141103
KELAS    : B REGULER
PRODI     : PENDIDIKAN EKONOMI 2012

 
JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropah. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis mencoba memberikan gambaran mengenai kemiskinan yang terjadi di Sumatera Utara agar para pembaca mengetahui masalah tentang kemiskinan, penyebab dan penanggulangannya.


2.1 RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang:
1.      Apa pengertian kemiskinan dan apa sajakah teori dalam kemiskinan itu?
2.      Bagaimana cara mengukur kemiskinan?
3.      Apa saja penyebab kemiskinan?
4.      Bagaimana keadaan kemiskinan di Sumater Utara?
5.      Apa saja yang harus diprioritaskan dalam pengentasan kemiskinan di Sumaters Utara?

2.2 TUJUAN PEMBAHASAN
Tujuan makalah ini adalah:
1.      Mengetahui pengertian kemiskinan dan teori kemiskinan
2.      Mengetahui cara mengukur kemiskinan
3.      Mengetahui penyebab kemiskinan
4.      Mengetahui keadaan kemiskinan di Sumatera Utara
5.      Mengetahui apa saja yang harus diprioritaskan dalam pengentasan kemiskinan Sumatera Utara












BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN KEMISKINAN
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah "negara berkembang" biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang "miskin".
Kemiskinan adalah tidak hanya terpenuhinya makanan dasar, perlindungan, perawatan medis, pengamanan, kebiasaan berpikir yang dilandaskan  pada nialai kebebasan manusia. akan tetapi, lebih luas dikatakan bahwa sesungguhnya, kemiskinan adalah keadaan memaksakan kehendak kepada orang lain.
Kemiskinan dapat diartikan pencabuatan penghubung. ”sosial (definisi penghubung) dan kemiskinan juga didasrkan pada budaya lokal ketika menghendaki menyelesaikan problem lokal.Definisi kemiskinan sering dihubugkan dengan konsep keluarga, penyandang dana, pengurusan pajak-pajak, dan hak sebagai hasil dari  upaya kerja.
Kemiskinan adalah ketidak adaan yaitu seseorang yang tidak mempunyai perlindungan, makanan, kesehatan, dan keselamatan.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
·         Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
·         Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
·         Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Sedangkan Kepala Badan Pusat Statistik , Rusman Heriawan mengatakan seseorang dianggap miskin apabila dia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal. Kebutuhan hidup minimal itu adalah kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan dalam takaran 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi. "Jadi ada kebutuhan makanan dalam kalori dan kebutuhan non makanan dalam rupiah. Kalau rupiahnya yang terakhir adalah Rp 182.636 per orang per bulan," kata Rusman Heriawan kepada BBC. Dengan definisi itu, Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara hingga September 2012 lalu mencapai 1,4 juta jiwa. Meski setiap tahun terjadi penurunan angka kemiskinan, namun tidak mampu menandingi laju pertumbuhan ekonomi Sumut.
Angka itu merupakan hasil survei sosial ekonomi nasional, Susenas dengan sampel hanya 68.000 rumah tangga, padahal jumlah rumah tangga di Indonesia mencapai 55.000.000.  Menurut ahli statistik dari Institut Teknologi Surabaya, Kresnayana Yahya, cara pandang pemerintah terhadap kemiskinan tidak mencerminkan realitas.
"Ada yang tidak diperhitungkan, perusak-perusak kalori. Orang merokok bisa enam sampai tujuh batang. Itu sebenarnya negatif. Dia bisa mengatakan belanjanya sekian, tetapi di dalamnya ada enam-tujuh batang rokok," kata Kresnayana Yahya.

2.2 TEORI KEMISKINAN
Pada dasarnya, kemiskinan merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak umat manusia ada. Kemiskinan merupakan persoalan kompleks, berwajah banyak, dan tampaknya akan terus menjadi persoalan aktual dari masa ke masa. Meskipun sampai saat ini belum ditemukan suatu rumusan ataupun formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling berdayaguna, signifikan, dan relevan, pengkajian konsep dan strategi penanganan kemiskinan harus terus menerus diupayakan. Pengupayaan tersebut tentu sangat berarti hingga kemiskinan tidak lagi menjadi masalah dalam kehidupan manusia.
Seperti diketahui, terdapat banyak teori dan pendekatan dalam memahami kemiskinan. Namun jika disederhanakan, setidaknya dalam untuk keperluan penelitian ini, maka terdapat dua paradigma atau teori besar (grand theory) mengenai kemiskinan: yakni paradigma neo-liberal dan sosial demokrat. Kedua paradigama tersebut pertama yang memandang kemiskinan dari kacamata struktural, dan yang kedua secara individual. Pandangan ini kemudian menjadi basis dalam menganalisis kemiskinan ataupun dalam merumuskan kebijakan dan program-program yang berusaha mengatasi kemiskinan.
1.      Teori Neo-Liberal
Shannon, Spicker, Cheyne, O’Brien dan Belgrave mengatakan bahwa kemiskinan merupakan persoalan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang jika pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Ini berarti strategi penanggulangan kemiskinan bersifat “residual” sementara, yang melibatkan keluarga, kelompok swadaya atau lembaga keagamaan. Negara akan turut campur ketika lembaga-lembaga di atas tidak lagi mampu menjalankan tugasnya. Penerapan Jaminan Pengaman Sosial (JPS) di Indonesia adalah contoh nyata pengaruh teori ini.
Teori neo-liberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas Hobbes, John Lock dan John Stuart Mill yang intinya menyerukan bahwa komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Dalam bidang ekonomi, karya monumental Adam Smith, the Wealth of Nation (1776), dan Frederick Hayek, The Road to Serfdom (1944), dipandang sebagai rujukan kaum neo-liberal yang mengedepankan azas laissez faire, yang oleh Cheyne, O’Brien dan Belgrave (1998) disebut sebagai ide yang mengunggulkan “mekanisme pasar bebas” dan mengusulkan “the almost complete absence of state’s intervention in the economy.” Secara garis besar, para pendukung neo-liberal berargumen bahwa kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan dan/atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan prtumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya.
 Secara langsung, strategi penaggulangan kemiskinan harus bersifat “residual”, sementara, dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya atau lembaga-lembaga keagamaan. Peran negara hanyalah sebagai “penjaga malam” yang baru boleh ikut campur manakala lembaga-lembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya (Spicker, 1995; Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998). Penerapan program-program structural adjustment, seperti Program Jaringan Pengaman Sosial atau JPS, di beberapa negara merupakan contoh kongkrit dari pengaruh neo-liberal dalam bidang penanggulangan kemiskinan ini.
Akan tetapi, keyakinan yang berlebihan tehadap keunggulan mekanisme pasar dan pertumbuhan ekonomi yang secara alamiah dianggap akan mampu mengatasi kemiskinan dan ketidakdilan sosial mendapat kritik dari kaum sosial demokrat. Pendukung sosial demokrat menyatakan bahwa “a free market did not lead to greater social wealth, but to greater poverty and exploitation…a society is just when people’s needs are met, and when inequality and exploitation in economic and social relations are eliminated” (Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998).
2.      Teori Demokrasi Sosial
Teori ini memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individu, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses kelompok kepada sumber-sumber kemasyarakatan. Teori Demokrasi Sosial menekankan pentingnya manajemen dan pendanaan negara dalam pemberian pelayanan sosial dasar (pendidikan, kesehatan, perumahan, dan jaminan sosial) bagi seluruh warga negara. Karena meskipun teori ini tidak anti sistem ekonomi kapitalis, namun merasa perlu ada sistem negara yang mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Teori sosial demokrat memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Teori yang berporos pada prinsip-prinsip ekonomi campuran ini muncul sebagai jawaban terhadap depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1920-an dan awal 1930-an. Sistem negara kesejahteraan yang menekankan pentingnya manajemen dan pendanaan negara dalam pemberian pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan jaminan sosial, sangat dipengaruhi oleh pendekatan “ekonomi manajemen-permintaan” (demand-management economics) gaya Keynesian ini.
Meskipun tidak setuju sepenuhnya terhadap sistem pasar bebas, kaum sosial demokrat tidak memandang sistem ekonomi kapitalis sebagai evil. Bahkan kapitalis masih dipandang sebagai bentuk pengorganisasian ekonomi yang paling efektif. Hanya saja, kapitalisme perlu dilengkapi dengan sistem negara kesejahteraan agar lebih berwajah manusiawi. “The welfare state acts as the human face of capitalism,” demikian menurut Cheyne, O’Brien dan Belgrave, (1998).
Pendukung sosial demokrat berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber, seperti pendidikian, kesehatan yang baik dan pendapatan yang cukup. Kebebasan lebih dari sekadar bebas dari pengaruh luar; melainkan pula bebas dalam menentukan pilihan-pilihan (choices). Dengan kata lain, kebebasan berarti memiliki kemampuan (capabilities) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Misalnya, kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya, kemampuan menghindari kematian dini, kemampuan menghindari kekurangan gizi, kemampuan membaca, menulis dan berkomunikasi. Negara karenanya memiliki peranan dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan yang memungkinkan mereka menentukan pilihanpilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Menurut pandangan sosial demokrat, strategi kemiskinan haruslah bersifat institusional (melembaga). Program-program jaminan sosial dan bantuan sosial yang dianut di AS, Eropa Barat, dan Jepang, merupakan contoh strategi anti kemiskinan yang diwarnai oleh teori sosial demokrat. Jaminan sosial yang berbentuk pemberian tunjangan pendapatan atau dana pensiun, misalnya, dapat meningkatkan kebebasan karena dapat menyediakan penghasilan dasar dengan mana orang akan memiliki kemampuan (capabilities) untuk memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihanpilihannya (choices). Sebaliknya, ketiadaan pelayanan dasar tersebut dapat menyebabkan ketergantungan (dependency) karena dapat membuat orang tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan menentukan pilihan-pilihannya.
Dirumuskan secara tajam, maka dapat dikatakan bahwa kaum neoliberal memandang bahwa strategi penanggulangan kemiskinan yang melembaga merupakan tindakan yang tidak ekonomis dan menyebabkan ketergantungan. Sebaliknya, pendukung sosial demokrat meyakini bahwa penanggulangan kemiskinan yang bersifat residual, beorientasi proyek jangka pendek, justru merupakan strategi yang hanya menghabiskan dana saja karena efeknya juga singkat, terbatas dan tidak berwawasan pemberdayaan dan keberlanjutan. Apabila kaum neoliberal melihat bahwa jaminan sosial dapat menghambat “kebebasan”, kaum sosial demokrat justru meyakini bahwa ketiadaan sumber-sumber finansial yang mapan itulah yang justru dapat menghilangkan “kebebasan”, karena membatasi dan bahkan menghilangkan kemampuan individu dalam menentukan pilihan-pilihannya (choices).
3.      Teori Marjinal
Teori Marjinal  berasumsi bahwa kemiskinan di perkotaan  terjadi dikarenakan adanya ‘kebudayaan kemiskinan’ (culture of poverty)  yang tersosialisasi di kalangan masyarakat atau komunitas tertentu.
Oscar Lewis (1966) adalah tokoh dari aliran teori Marjinal, konsepnya yang terkenal adalah Culture of Poverty . Menurut Lewis, masyarakat di Dunia Ketiga menjadi miskin karena adanya Culture of Poverty (Kebudayaan Kemiskinan) , dengan karakter:
·         Apatis, menyerah pada nasib
·         Sistem-sistem keluarga yang tidak mantap
·         Kurang pendidikan
·         Kurang ambisi untuk membangun masa depan
·         Kejahatan dan kekerasan merupakan hal yang lumrah
Ada 2 (dua) pendekatan pererencanaan yang bersumber dari pandangan Teori Marjinal:
·         Prakarsa harus datang dari luar komunitas.
·         Perencanaan harus berfokus pada perubahan nilai,  karena akar masalah ada pada nilai.
4.      Teori Development
Teori Developmental (bercorak pembangunan) muncul dari teori-teori pembangunan terutama  neo liberal. Teori ini mencari akar masalah kemiskinan pada persoalan ekonomi dan masyarakat sebagai satu kesatuan
Ada 3 (tiga asumsi dasar dari teoeri ini:
·         Negara menjadi miskin karena ketiadaan atribut industrialisasi, modal, kemampuan menajerial, dan prasarana yg di perlukan untuk peningkatan ekonomi
·         Pertumbuhan ekonomi adalah kriteria utama pembangunan yang dianggap dapat mengatasi masalah-masalah ketimpangan
·         Kemiskinan akan hilang dengan sendiri bila pasar diperluas sebesar-besaranya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya.Ketiga asumsi tersebut, terlihat bahwa kemiskinan yang terjadi di kota-kota bukan persoalan budaya, sebagaimana anggapan penganut Teori Marjinal (Cultur of Poverty) melainkan persolana ekonomi dan pembangunan.
Implikasi Teori Developmental pada Perencanaan dan kebijakan:
·         Bahwa rencana-rencana pembangunan harus diarahkan pada kekuatan-kekuatan produksi, efisiensi perkotaan, penghematan skala (economic of scale) dan perolehan modal investasi.
·         Perencanaan pembangunan harus diarahkan pada peningkatan prasarana yang dapat mengatasi masalah ketimpangan.
·         Perencanaan untuk meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan.
·         Perencanaan-proyek-proyek pemberdayaan masyarakat (community empowerment)



5.      Teori Struktural
Teori ini didasari oleh pemikiran yang berasal dari Teori Dependency (Teori Ketergantungan) yang diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank (1967) “Capitalism and the Underdevelopment in Latin America”, dan juga oleh Teothonio Dos Santos, dan Samir.Teori Struktural berasumsi bahwa kemiskinan dikota-kota Dunia Ketiga terjadi bukan karena persoalan budaya, dan juga bukan bukan persoalan pembangunan ekonomi, melainkan persoalan struktural, yang hanya dapat dijelaskan dalam konstelasi politik-ekonomi Dunia.
Teori Dependensi mengajukan 3 asumsi utama:
·         Dunia didominasi oleh suatu perekonomian tunggal sedemikian rupa sehingga semua negara di Dunia diintegrasikan ke dalam lingkungan produksi kapitalisme yg menyebabkan keterbelakangan di negara Periphery.
·         Negara-negara Core (Inti) menarik surplus dari negara-negara periphery  melalui suatu matarantai metropolis-satelit.
·         Sebagai akibatnya negara-negara Periphery menjadi semakin miskin, dan negara-negara Core menjadi semakin kaya.
Dengan berdasar pd pemikiran Dependency tsb, Teori Struktural mengajukan asumsi bahwa kemiskinan di Dunia Ketiga harus dilihat pada suatu konstelasi ekonomi internasional dan struktur politik global yg menerangkan bhw ketergantunganlah itulah yg menjadi penyebab negara-negara terkebelakang & masyarakatnya menjadi makin miskin.
Pendekatan Perencanaan yang bersumber dari asumsi-asumsi Teori Struktural dan Dependency:
·         Kemiskinan harus dilihat secara dinamis dari bagaimana usaha dan kemampuan kaum miskin itu sendiri dalam merespon kemiskinan mereka
·          Indikator  kemikinan semestinya merupakan indikator yg komposit dengan unit analisis keluarga (rumah tangga) dan jaringan sosial (social work) yang ada disekitarnya.
·          Konsep kemampuan sosial (social capability) dipandang lebih lengkap dari pada konsep pendapatan.

6.      Teori Artikulasi Modal Produksi
Teori Artikulasi Moda Produksi adalah salah satu teoeri dalam jajaran studi-studi pembangunan yang dikembangkan oleh Pierre-Phillipe Rey, Meillassoux, Terry, dan Taylor, dari pemikiran Karya Karl Marx dan Frederic Engels mengenai Moda Produksi (Mode of Poduction). Teori ini berasumsi bahwa reproduksi kapitalisme di negara-negara periphery terjadi dalam suatu simultanitas tunggal di mana pada sisi periphery, terjadi artikulasi dari sedikitnya dua moda produksi (moda produksi kapitalis dan moda produksi pra-kapitalis
Koeksistensi dari kedua  moda produksi tersebut menghasilkan eksploitasi tenaga kerja murah dan problem akses bagi kelompok masyarakat miskin yg masih tetap berada dalam ranah moda produksi pra-kapitalisme atau pra-kapitalis atau non-kapitalis
Strategi penanganan kemiskinana ditawarkan oleh Teori Artikulasi Moda Produksi  dikenal dengan “person-in-environment”, dan “person-in-situation” yang dianalogikan sebagai strategi “ikan-kail”
a.       Memberikan keterampilan memancing
b.      Menghilangkan dominasi kepemilikan kolam ikan oleh keleompok elit dalam masyarakat.
c.       Mengupayakan perluasan akses pemasaran bagi penjualan ikan.
Teori Artikulasi Moda Produksi melandasai 2 (dua) macam pendekatan: Moderat dan Radikal
Pendekatan Moderat, meliputi:
a.       Pemberian bantuan sosial dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh panti-panti sosial
b.      Program jaminan perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial.
c.       Program-program pemberdayaan masyarakat (Country/ society empowerment).
Pendekatan Radikal  meliputi:
·         Bahwa justeru di dalam masyarakat itu sendiri terjadi ketidak-adilan dan ketimpangan, yang menyebabkan taraf hidup sebagain warna masyarakatnya tetap saja rendah.
·         Karenanya kebijakan yang paling tepat adalah gerakan untuk mengadakan reformasi dan tranformasi. terhadap berbagai intitusi yang dianggap kurang menguntungkan kaum miskin.







2.3 MENGUKUR  KEMISKINAN
Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari, dengan batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari."Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001.Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.
Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara berkembang.

2.4 FAKTOR-FAKTOR TIMBULNYA KEMISKINAN
Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan, diantaranya :
A.    Pendidikan Yang Rendah
Tingkat pendidikan yang rendah, menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan
tertentu yang diperlukan dalam kehidupannya. Keterbatasan pendidikan / keterampilan yang
dimiliki menyebabkan keterbatasan kemampuan untuk masuk dalam dunia kerja.
B.     Malas Bekerja
Merupakan suatu masalah yang cukup memprihatinkan. Sikap malas ini cenderung untuk menggantungkan hidup pada orang lain, baik dari keluarga, saudara atau famili yangdi pandang mempunyai kemampuan untuk menanggung kebutuhan hidup mereka.
C.    Keterbatasan Sumber Alam
Kemiskinan akan melanda suatu masyarakat apabila sumber alamnya tidak lagi memberikan
keuntungan bagi kehidupan mereka. Sering dikatakan oleh para ahli bahwa masyarakat itu
miskin karena memang dasarnya “alamiyah miskin”.Alamiyah miskin yang dimaksud disini adalah kekayaan alamnya, misalnya tanahnya berbatu-batu, tidak menyimpan kekayaan mineral, dan sebagainya. Dengan demikianlayaklah kalau miskin sumber daya alam miskin juga masyarakatnya.
D.    Terbatasnya Lapangan Kerja
Keterbatsan lapangan kerja akan membawa konsekuensi kemiskinan bagi masyarakat, secara
ideal banyak orang mengatakan bahwa seseorang / masyarakat harus mampu menciptakanlapangan kerja baru, tetapi secara factual hal tersebut kecil kemungkinannya. Karena adanya keterbatasan kemampuan seseorang baik yang berupa skill maupun modal.
E.     Keterbatasan Modal
Keterbatasan modal adalah sebuah kenyataan yang ada di Negara-negara yang sedang berkembang. Kenyataan tersebut membawa kemiskinan pada sebagaian masyarakat di Negara tersebut.Seorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi alat atau bahan dalam rangka menerapkan keterampilan yang mereka miliki dengan suatu tujuan untuk memperoleh penghasilan.
F.     Beban Keluarga
Semakin banyak anggota keluarga akan semakin banyak/meningkat pula tuntutan / beban untuk hidup yang harus dipenuhi. Seseorang yang mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak di imbangi dengan usaha peningkatan pendapatan sudah pasti akan menimbulkan kemiskinan karena mereka memang berangkat dari kemiskinan.
G.    Laju Pertumbuhan penduduk
Meningkatnya jumlah penduduk membuat Indonesia makin terpuruk dengan keadaan ekonomi yang belum mapan. Jumlah penduduk yang bekerja tidak sebanding dengan jumlah beban ketergantungan. Penghasilan yang minim ditambah dengan banyaknya beban ketergantungan yang harus ditanggung membuat penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.Pertumbuhan penduduk Indonesia terus meningkadi setiap 10 tahun menurut hasil sensus penduduk. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 1990 Indonesia memiliki 179 juta lebih penduduk. Kemudian di sensus penduduk tahun 2000 penduduk meningkat sebesar 27 juta penduduk atau menjadi 206 juta jiwa. dapat diringkaskan pertambahan penduduk Indonesia persatuan waktu adalah sebesar setiap tahun bertambah 2,04 juta orang pertahun atau, 170 ribu orang perbulan atau 5.577 orang perhari atau 232 orang perjam atau 4 orang permenit. Banyaknya jumlah penduduk ini membawa Indonesia menjadi negara ke-4 terbanyak penduduknya setelah China, India dan Amerika.
Meningkatnya jumlah penduduk membuat Indonesia semakin terpuruk dengan keadaan ekonomi yang belum mapan. Jumlah penduduk yang bekerja tidak sebanding dengan jumlah beban ketergantungan. Penghasilan yang minim ditambah dengan banyaknya beban ketergantungan yang harus ditanggung membuat penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.
H.    Angkatan Kerja , Penduduk yang bekerja dan pengangguran
Secara garis besar penduduk suatu negara dibagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Yang tergolong sebagi tenaga kerja ialah penduduk yang berumur didalam batas usia kerja. Batasan usia kerja berbeda-beda disetiap negara yang satu dengan yang lain. Batas usia kerja yang dianut oleh Indonesia ialah minimum 10 tahun tanpa batas umur maksimum. Jadi setiap orang atau semua penduduk berumur 10 tahun tergolong sebagai tenaga kerja. Sisanya merupakan bukan tenaga kerja yang selanjutnya dapat dimasukan dalam katergori beban ketergantungan.  Tenaga kerja (manpower) dipilih pula kedalam dua kelompok yaitu angkatan kerja (labor force) dan bukan angkatan kerja. Yang termasukangkatan kerja ialah tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja yang bekerja atau mempunyai pekerjaan naun untuk sementara tidak bekerja, dan yang mencari pekerjaan. Seangkan yang termasuk sebagai bukan angkatan kerja adalah tenaga kerja dalam usia kerja yang tidak sedang bekerja, tidak mempunyai pekerjaan dan tidak sedang mencari pekerjaan, yakni orang-orang yang kegiatannya bersekolah, mengurus rumah tangga, serta orang yang menerima pendapatan tapi bukan merupakan imbalan langsung atas jasa kerjanya. 
Selanjutnya angkatan kerja dibedakan pula menjadi dua subkelompok yaitu pekerja dan penganggur. Yang dimaksud dengan pekerja adalah orang-orang yang mempunyai pekerjaan, mencakup orang-orang yang mempunyai pekerjaan dan memang sedang bekerja maupun orang yang memilki pekerjaan namun sedang tidak bekerja. Adapun yang dimaksud denganpengangguran adalah orang yang ridak mempunyai pekerjaan, lengkapnya orang yang tidak bekerja dan mencari pekerjaan. Pengangguran semacam ini oleh BPS dikatergorikan sebgai pengangguran terbuka. (Dumairy, 1996).

I.       Distribusi Pendapatan dan pemerataan pembangunan
Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk berpendapatan rendah (penduduk miskin); 40% penduduk berpendapatan menengah; serta 20% penduduk berpemdapatan tertinggi (penduduk terkaya). Ketimpangan dan ketidakmerataan distribusi dinyatakan parah apabila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati kurang dari 12 persen pendapatan nasional. Ketidakmerataan dianggap sedang atau moderat bila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati 12 hingga 17 persen pendapatan nasional. Sedangkan jika 40% penduduk miskin menikmati lebih dari 17 persen pendapatan nasional makan ketimpangan atau kesenjangan dikatakan lunak, distribusi pendapatan nasional dikatakan cukup merata. (Dumairy, 1996).
Pendapatan penduduk yang didapatkan dari hasil pekerjaan yang mereka lakukan relatif tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sedangkan ada sebagian penduduk di Indonesia mempunyai pendapatan yang berlebih. Ini disebut juga sebagai ketimpangan. Ketimpangan pendapatan yang ekstrem dapat menyebabkan inefisiensi ekonomi. Penyebabnya sebagian adalah pada tingkat pendapatan rata ± rata bearapa pun, ketimpangan yang semakin tinggi akan menyebabkan semakin kecilnya bagian populasi yang memenuhi syarat untuk mendapatkan pinjaman atau sumber kredit. Selain itu ketimpangan dapat menyebabkan alokasi aset yang tidak efisien. Ketimpangan yang tinggi menyebabkan penekanan yang terlalu tinggi pada pendidikan tinggi dengan mengorbankan kualitas universal pendidikan dasar, dan kemudian menyebabkan kesenjangan pendapatan yang semakin melebar. (Todaro, 2006).
Ketimpangan pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung dan berwujud dalam berbagai bentuk dan aspek atau dimensi. Bukan saja berupa ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan per kapita tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Bukan pula semata-mata berupa ketimpangan spasial atau antar daerah tetapi ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional.Ketimpangan sektoral dan regional dapat ditengarai antara lain dengan menelaah perbedaan mencolok dalam aspek ±aspek seperti penyerapan tenaga kerja, alokasi dana perbankan, investasi dan pertumbuhan.
Ketimpangan pertumbuhan antarsektor, khususnya antara sektor pertanian dan sektor industry pengolahan harus disikapi secara arif. Ketimpangan pertumbuhan sektoral ini bukanlah kecelakaan atau ekses pembangunan. Ketimpangan ini lebih kepada suatu hal yang terencana dan memang disengaja terkait dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai negara industry. Akan tetapi sampai sejauh manakah ketimpangan ini apat ditolerir? Pemerintah perlu memikirkan kembali perihal ketepatan keputusan menggunakan industrialisasi sebgai jalur pembangunan karena akan sangat berdampak bagi pendapatan penduduk dan selanjutnya kemiskinan. (Dumairy, 1996)
J.      Kurangnya perhatian dari pemerintah
Pemerintah yang kurang peka terhadap laju pertumbuhan masyarakat miskin dapat menjadi salah satu faktor kemiskinan. Pemerintah tidak dapat memutuskan kebijakan yang mampu mengendalikan tingkat kemiskinan di negaranya.

2.5 KEMISKINAN DI SUMATERA UTARA
Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara hingga September 2012 lalu mencapai 1,4 juta jiwa. Meski setiap tahun terjadi penurunan angka kemiskinan, namun tidak mampu menandingi laju pertumbuhan ekonomi Sumut.Secara rinci, kenaikan pertumbuhan ekonomi Sumut rata-rata sebesar 6% pertahun, sedangkan penurunan angka kemiskinan hanya turun 5%. Artinya, elastisitas tingkat kemiskinan Sumut terhadap pertumbuhan ekonomi di bawah 1 angka.Target pencapai penurunan kemiskinan tahun 2014 diangka 10% dan target MDG's sebesar 7,5% tahun 2015 mendatang.
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terus berupaya mengurangi angka kemiskinan. Untuk itu, semua pihak harus saling bantu agar masalah kemiskinan menurun dari tahun ketahun. Di sisi lain, upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Sumut juga dipengaruhi kinerja ekspor Sumut yang berkorelasi erat dengan penurunan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Tantangan eksternal masih menjadi kendala terbesar dalam mengentaskan kemiskinan di Sumut. Pengurangan subsidi BBM dan TDL ternyata juga menjadi salah satu pemicu kemiskinan karena mempengaruhi sejumlah sektor industri dan UMKM.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh mengurangi tingkat kemiskinan di Sumut adalah dengan mengandalkan pertumbuhan ekonomi berbasis sektor konsumsi. Selain itu, Pemprov Sumut akan mengoptimalkan anggaran pemerintah daerah, termasuk memaksimalkan proyek infrastruktur.
Jumlah penduduk miskin, yakni penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan, di Sumatera Utara pada bulan Maret 2009 sebesar 1.499.700 orang (11,51 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2008 yang berjumlah 1.613.800 orang (12,55 persen), berarti jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Utara berkurang sebanyak 114.100 orang (1,04 persen). Selama periode Maret 2008 – Maret 2009, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 40.400 orang (0,73 persen), sementara di daerah perkotaan berkurang 73.700 orang (1,40 persen).
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berbeda. Pada bulan Maret 2009, penduduk miskin berada di daerah perdesaan sebesar 11,56 persen dan di daerah perkotaan sebesar 11,45 persen.Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sumatera Utara relatif kecil perubahannya dari tahun 2008 ke tahun 2009, yaitu dari 0,58 menjadi 0,50. Untuk Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), angkanya sedikit mengalami penurunan, yakni dari 2,17 menjadi 1,92. Ini mengindikasikan bahwa kondisi atau rata-rata pengeluaran penduduk miskin dan tingkat kesenjangan semakin kecil selama periode satu tahun ini.
Jumlah penduduk miskin, yakni penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan, di Sumatera Utara pada bulan Maret 2011 sebanyak 1.481.300 orang (11,33 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2010 yang berjumlah 1.490.900 orang (11,31 persen), berarti jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Utara berkurang sebanyak 9.600 orang. Selama periode Maret 2010, Maret 2011, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 11.700 orang, sementara di daerah perkotaan bertambah sekitar 2.100.
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan dan perdesaan tidak terlalu jauh berbeda.
Pada bulan Maret 2011, penduduk miskin berada di daerah perdesaan sebesar 11,89 persen dan di daerah perkotaan sebesar 10,75 persen.Pada bulan Maret 2011 garis kemiskinan Sumatera Utara sebesar Rp. 246.560,- per kapita per bulan. Untuk daerah perkotaan, garis kemiskinannya sebesar Rp. 271.713,- per kapita per bulan, dan untuk daerah perdesaan sebesar Rp. 222.226,- per kapita per bulan.Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sumatera Utara tahun 2011 menurun dibanding tahun 2010, yaitu menjadi 0,51 dari 0,57. Demikian pula untuk Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), angkanya mengalami penurunan, yakni dari 2,04 tahun 2010 menjadi 1,84 pada tahun 2011. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan tingkat ketimpangannya juga semakin menurun. Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara hingga September 2012 lalu mencapai 1,4 juta jiwa. Meski setiap tahun terjadi penurunan angka kemiskinan, namun tidak mampu menandingi laju pertumbuhan ekonomi Sumut.
Tahun 2013, Ekonomi Sumut dihantam oleh penurunan harga komoditas dunia serta kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM tersebut tidak dapat dipungkiri telah menterpurukkan daya beli masyarakat Sumut karena laju tekanan inflasi meroket cukup signifikan.Meskipun Sumut mampu mencetak pertumbuhan ekonomi sekitar 5.8 hingga persen, akan tetapi dengan laju inflasi yang lebih dari 10 persen, Sumut mengalami pertumbuhan negatif sekitar 4 persen. Penambahan tenaga kerja akibat aktifitas ekonomi Sumut tidak mampu mengimbangi penambahan jumlah angka kemiskinan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), wilayah Sumut mencatatkan pertumbuhan jumlah angka kemiskinan sebesar 51.600 jiwa di bulan september 2013. atau bertambah hampir 4% dari maret 2013 ke September 2013. Tidak jauh berbeda dengan realisasi angka pertumbuhan negatif Sumut yang juga berkisar 4%.Sumut masih berkutat dengan model lama dalam menjalankan roda perekonomiannya. Yakni dengan lebih mengedepankan cara-cara tradisional yang menjual bahan mentah yang tidak berorientasi ke pengguna akhir serta bergantung pada volatilitas harga komoditas dunia, yang sayangnya di tahun 2013 tidak begitu bersahabat.Sumut membutuhkan cara-cara baru agar keluar dari pertumbuhan ekonomi yang kurang berkualitas. Banyak yang harus dilakukan Sumut untuk berbenah dalam jangka panjang. Selain masalah infrastruktur hingga ke regulasi, komponen bahan baku penolong impor yang besar juga menyisahkan masalah disisi lain.
Disisi lain, cetak biru pembangunan Sumut juga masih banyak mengandalkan program-program pembangunan dari pemerintah pusat. Yang kita butuhkan adalah akselerasi dan inovasi. Apalah artinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi bila inflasinya jauh lebih tinggi lagi. Pertumbuhan ekonomi yang di besar-besarkan tidak bermanfaat sama sekali bila orang miskinnya juga tambah banyak.Pada hakikatnya pertumbuhan ekonomi yang diciptakan adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Tapi jika penduduk miskinnya bertambah, maka jelas jalan kita masih kita jauh menuju kesejahteraan.




Tabel 1
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Sumatera Utara dan Nasional Tahun 1999 – 2013
Tahun
Jumlah
(ribu jiwa)
Persentase
(%)
(1)
(2)
(3)
1 972,7
16,74
Februari 2002
1 883,9
15,84
Februari 2003
1 889,4
15,89
Maret 2004
1 800,1
14,93
Juli 2005
1 840,2
14,68
Mei 2006
1 979,7
15,66
Maret 2007
1 768,4
13,90
Maret 2008
1 613,8
12,55
Maret 2009
1 499,7
11,51
Maret 2010
1 490,9
11,31
Maret 2011
1 481,3
11,33
Maret 2012
1 407,2
10,67
September 2012
1 378,4
10,41
Maret 2013
1 339,2
10,06
September 2013
1 390,8
10,39

Sumber : Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)

 



Tabel 2 menunjukkan bahwa angka kemiskinan, pengangguran Indonesia masih berada pada angka dua digit.
Tabel 2. Data Kemiskinan dan pengangguran Indonesia
Tahun
Persentase penduduk miskin (%)
Tahun
Persentase pengangguran (%)
2007
16.58
2002
9,06
2008
15.42
2003
9,57
2009
14.15
2004
9,86
2010
13.33
2005
10,26
2011
12.49
2006
10,28
2012
11.96
2007
9,12
Sumber : BPS, 2012

Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara (Sumut) memang terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Namun  penurunan angka kemiskinan di Sumut tidak sebesar laju pertumbuhan ekonominya. Setiap kenaikan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6%, maka angka kemiskinan di Sumut rata-rata turun 5%. Atau dengan kata lain, elastisitas tingkat kemiskinan Sumut terhadap pertumbuhan ekonominya di bawah angka 1.
Lebih jauh, ternyata penurunan tingkat kemiskinan di Sumut sangat dipengaruhi kinerja ekspor Sumut. Bila ditarik kesimpulan maka baik ekspor, PDRB dan tingkat kemiskinan sangat berkorelasi erat. Akhir-akhir ini kualitas penurunan angka kemiskinan di Sumut mulai melambat seiring dengan melambatnya kinerja ekspor maupun PDRB Sumut.
Penurunan angka kemiskinan Sumut sangat dipengaruhi oleh kinerja ekspor Sumut. Untuk itu di tahun 2013 ini sejumlah tantangan eksternal masih akan menjadi masalah besar dalam pengentasan kemiskinan di Sumut, masalah anggaran AS serta ketidakpercayaan masyarakat Eropa terkait dengan proses pemulihan krisis berpotensi mengancam ekspor dan membuat kerja pemerintah Sumut dalam mengentaskan kemiskinan stagnan. Dengan mengandalkan pertumbuhan berbasiskan konsumsi serta minimnya ekspor akibat anjloknya harga komoditas. maka mustahil bila jumlah penduduk miskin di Sumut yang per September 2012 sebesar 1.4 juta jiwa akan turun signifikan dan tingkat kemiskinan di tekan hingga di bawah level 10%.Ditambah lagi pengurangan subsidi (BBM dan TDL) sangat berkorelasi terhadap peningkatan angka kemiskinan di Sumut. Kenaikan TDL dan kemungkinan naiknya harga BBM berpotensi menambah angka kemiskinan di Sumatera Utara. Meskipun harga-harga komoditas memang berpotensi menguat di semester II/2013 walaupun kecil sekali kemungkinannya, namun itu tidaklah cukup.Optimalisasi anggaran pemerintah daerah serta optimalisasi proyek infrastruktur juga dikhawatirkan belum akan mampu menekan angka kemiskinan di bawah 10 persen pada tahun ini, Disebutkan juga, per September 2012 tingkat kemiskinan Sumut berada di 10.41%. Terlihat untuk menurunkan angkanya di bawah 10% bukanlah perkara yang sulit. Dengan sejumlah masalah baik internal dan eksternal maka dibutuhkan kerja keras untuk menekan angka pengangguran tersebut. Semua pihak harus bekerja keras, agar kita mendapat keajaiban dengan mampu menurunkan angka kemiskinan di bawah 10%.
2.6 STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN
A. Upaya Pemerintah Mengatasi Kemiskinan
Salah satu upaya yang dapat ditempuh mengurangi tingkat kemiskinan di Sumut adalah dengan mengandalkan pertumbuhan ekonomi berbasis sektor konsumsi. Sebagai wujud gerakan bersama dalam mengatasi kemiskinan dan mencapai Tujuan pembangunan Milenium, Strategi Nasional Pembangunan Kemiskinan (SPNK) telah disusun melalui proses partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholders pembangunan di Indonesia. Selain itu, sekitar 60 % pemerintah kabupaten/ kota telah membentuk Komite penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPKD) dan menyusun Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) sebagai dasar arus utama penanggulangan kemiskinan di daerah dan mendorong gerakan sosial dalam mengatasi kemiskinan.keren.web.id
Adapun langkah jangka pendek yang diprioritaskan antara lain sebagai berikut:
* Mengurangi kesenjangan antar daerah dengan; penyediaan sarana-sarana irigasi, air bersih dan sanitasi dasar terutama daerah-daerah langka sumber air bersih, pembangunan jalan, jembatan, dan dermaga daerah-daerah tertinggal, redistribusi sumber dana kepada daerah-daerah yang memiliki pendapatan rendah dengan instrumen Dana Alokasi Khusus (DAK) .
* Perluasan kesempatan kerja dan berusaha dilakukan melalui bantuan dana stimulan untuk modal usaha, pelatihan keterampilan kerja dan meningkatkan investasi dan revitalisasi industri.
* Khusus untuk pemenuhan sarana hak dasar penduduk miskin diberikan pelayanan antara lain : pendidikan gratis sebagai penuntasan program belajar 9 tahun termasuk tunjangan bagi murid yang kurang mampu, jaminan pemeliharaan kesehatan gratis bagi penduduk miskin di puskesmas dan rumah sakit kelas tiga.
Komitmen pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 yang disusun berdasarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Disamping turut menandatangani Tujuan Pembangunan Milenium (atau Millennium Development Goals) untuk tahun 2015, dalam RPJM-nya pemerintah telah menyusun tujuan-tujuan pokok dalam pengentasan kemiskinan untuk tahun 2009, termasuk target ambisius untuk mengurangi angka kemiskinan dari 18,2 persen pada tahun 2002 menjadi 8,2 persen pada tahun 2009.
Dalam pelaksanaan program pengentasan nasib orang miskin, keberhasilannya bergantung pada langkah awal dari formulasi kebijakan, yaitu mengidentifikasikan siapa sebenarnya “si miskin” tersebut dan dimana ia berada. Kedua pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan melihat profil dari si miskin.
Strategi pengentasan kemiskinan yang terdiri dari tiga komponen:
a.      Membuat Pertumbuhan Ekonomi Bermanfaat bagi Rakyat Miskin.
Pertumbuhan ekonomi telah dan akan tetap menjadi landasan bagi pengentasan kemiskinan. Pertama, langkah membuat pertumbuhan bermanfaat bagi rakyat miskin merupakan kunci bagi upaya untuk mengkaitkan masyarakat miskin dengan proses pertumbuhan baik dalam konteks pedesaan-perkotaan ataupun dalam berbagai pengelompokan berdasarkan daerah dan pulau. Hal ini sangat mendasar dalam menangani aspek perbedaan antar daerah. Kedua, dalam menangani ciri kerentanan kemiskinan yang berkaitan dengan padatnya konsentrasi distribusi pendapatan di Indonesia, apapun yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat akan dapat dengan cepat mengurangi angka kemiskinan serta kerentanan kemiskinan.
Membuat pertumbuhan bermanfaat bagi masyarakat miskin memerlukan langkah untuk membawa mereka pada jalan yang efektif untuk keluar dari kemiskinan. Hal ini berarti memanfaatkan transformasi struktural yang sedang berlangsung di Indonesia yang ditandai oleh dua fenomena. Pertama, sedang terjadi pergeseran dari kegiatan yang berbasis pedesaan ke kegiatan yang berbasis perkotaan. Kedua, telah terjadi pergeseran yang menonjol dari kegiatan bertani (farm) ke kegiatan non-tani (non-farm). Transformasi ini menunjukan adanya dua jalan penting yang telah diambil oleh rumah tangga untuk keluar dari kemiskinan di Indonesia.
1. Peningkatan produktivitas pertanian.
2. Peningkatan produktivitas non-pertanian, baik di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan yang “dikotakan” dengan cepat.
b.      Membuat Layanan Sosial Bermanfaat bagi Rakyat Miskin.
Penyediaan layanan sosial bagi rakyat miskin baik oleh sektor pemerintah ataupun sektor swasta-adalah mutlak dalam penanganan kemiskinan di Indonesia. Pertama, hal itu merupakan kunci dalam menyikapi dimensi non-pendapatan kemiskinan di Indonesia. Indikator pembangunan manusia yang kurang baik, misalnya Angka Kematian Ibu yang tinggi, harus diatasi dengan memperbaiki kualitas layanan yang tersedia untuk masyarakat miskin. Hal ini lebih dari sekedar persoalan yang bekaitan dengan pengeluaran pemerintah, karena berkaitan dengan perbaikan sistem pertanggungjawaban, mekanisme penyediaan layanan, dan bahkan proses kepemerintahan.
Kedua, ciri keragaman antar daerah kebanyakan dicerminkan oleh perbedaan dalam akses terhadap layanan, yang pada akhirnya mengakibatkan adanya perbedaan dalam pencapaian indikator pembangunan manusia di berbagai daerah. Dengan demikian, membuat layanan masyarakat bermanfaat bagi rakyat miskin merupakan kunci dalam menangani masalah kemiskinan dalam konteks keragaman antar daerah.Membuat layanan bermanfaat bagi masyarakat miskin memerlukan perbaikan sistem pertanggungjawaban kelembagaan dan memberikan insentif bagi perbaikan indikator pembangunan manusia. Saat ini, penyediaan layanan yang kurang baik merupakan inti persoalan rendahnya indikator pembangunan manusia, atau kemiskinan dalam dimensi non-pendapatan, seperti buruknya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Bidang lain yang memerlukan perhatian adalah perbaikan akses bagi masyarakat miskin terhadap pelayanan untuk menekan kesenjangan antar daerah dalam hal indikator pembangunan manusia. Di bidang pendidikan, salah satu masalah kunci adalah tingginya angka putus sekolah di masyarakat miskin pada saat mereka melanjutkan pendidikan dari SD ke SMP.
c.       Membuat Pengeluaran Pemerintah Bermanfaat bagi Rakyat Miskin.
Di samping pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, dengan menentukan sasaran pengeluaran untuk rakyat miskin, pemerintah dapat membantu mereka dalam menghadapi kemiskinan (baik dari segi pendapatan maupun non-pendapatan). Pertama, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan dari segi pendapatan melalui suatu sistem perlindungan sosial modern yang meningkatkan kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi. Kedua, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk memperbaiki indikator-indikator pembangunan manusia, sehingga dapat mengatasi kemiskinan dari aspek non-pendapatan.
Membuat pengeluaran bermanfaat bagi masyarakat miskin sangat menentukan saat ini, terutama mengingat adanya peluang dari sisi fiscal yang ada di Indonesia saat kini.Pengurangan subsidi BBM merupakan langkah besar ke arah pengeluaran publik pemerintah yang lebih berpihak pada masyarakat miskin. Sampai saat ini, pengeluaran pemerintah tidak selalu bisa secara efektif mengatasi kendala yang dihadapi masyarakat miskin untuk keluar dari kemiskinan.
Ketika pemerintah memperoleh kelonggaran fiskal menyusul realokasi subsidi BBM yang regresif, penting untuk memastikan bahwa pengeluaran tersebut benar-benar berdampak positif bagi masyarakat miskin. Sekarang pemerintah mempunyai kesempatan untuk menangani masalah kerentanan tinggi masyarakat miskin di Indonesia dengan cara mengarahkan belanja pemerintah ke dalam sistem jaminan sosial yang mampu mengurangi kerentanan tersebut. Salah satu komponen penting dari realokasi pengeluaran pemerintah adalah memusatkan perhatian pada upaya peningkatan penghasilan masyarakat miskin. Pengeluaran pemerintah yang bisa berdampak langsung pada peningkatan penghasilan juga akan berdampak positif pada penanganan kemiskinan. Salah satu prioritas yang bisa dikedepankan-dan telah dimulai oleh pemerintah-ialah memperluas cakupan pembangunan berbasis masyarakat (community driven development atau CDD).

B. Strategi Pengentasan Kemiskinan Di Sumatera Utara
Salah satu upaya yang dapat ditempuh mengurangi tingkat kemiskinan di Sumut adalah dengan mengandalkan pertumbuhan ekonomi berbasis sektor konsumsi. Selain itu, Pemprov Sumut akan mengoptimalkan anggaran pemerintah daerah, termasuk memaksimalkan proyek infrastruktur. Di sisi lain, upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Sumut juga dipengaruhi kinerja ekspor Sumut yang berkorelasi erat dengan penurunan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dengan sejumlah masalah baik internal dan eksternal maka dibutuhkan kerja keras untuk menekan angka kemiskinan dan pengangguran tersebut. Semua pihak harus bekerja keras, agar mendapat keajaiban dengan mampu menurunkan angka kemiskinan di bawah 10%. spor maupun PDRB Sumut.














BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara hingga September 2013 lalu mencapai 1 390,8 ribu jiwa, dengan persentase 10,39%. Meski setiap tahun terjadi penurunan angka kemiskinan, namun tidak mampu menandingi laju pertumbuhan ekonomi Sumut. Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara (Sumut) memang terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Namun  penurunan angka kemiskinan di Sumut tidak sebesar laju pertumbuhan ekonominya. Setiap kenaikan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6%, maka angka kemiskinan di Sumut rata-rata turun 5%. Atau dengan kata lain, elastisitas tingkat kemiskinan Sumut terhadap pertumbuhan ekonominya di bawah angka 1.
Lebih jauh, ternyata penurunan tingkat kemiskinan di Sumut sangat dipengaruhi kinerja ekspor Sumut. Bila ditarik kesimpulan maka baik ekspor, PDRB dan tingkat kemiskinan sangat berkorelasi erat. Akhir-akhir ini kualitas penurunan angka kemiskinan di Sumut mulai melambat seiring dengan melambatnya kinerja ek Tantangan eksternal masih menjadi kendala terbesar dalam mengentaskan kemiskinan di Sumut. Pengurangan subsidi BBM dan TDL ternyata juga menjadi salah satu pemicu kemiskinan karena mempengaruhi sejumlah sektor industri dan UMKM.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh mengurangi tingkat kemiskinan di Sumut adalah dengan mengandalkan pertumbuhan ekonomi berbasis sektor konsumsi. Selain itu, Pemprov Sumut akan mengoptimalkan anggaran pemerintah daerah, termasuk memaksimalkan proyek infrastruktur. Di sisi lain, upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Sumut juga dipengaruhi kinerja ekspor Sumut yang berkorelasi erat dengan penurunan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dengan sejumlah masalah baik internal dan eksternal maka dibutuhkan kerja keras untuk menekan angka kemiskinan dan pengangguran tersebut. Semua pihak harus bekerja keras, agar mendapat keajaiban dengan mampu menurunkan angka kemiskinan di bawah 10%. spor maupun PDRB Sumut.
Target pencapai penurunan kemiskinan tahun 2014 diangka 10% dan target MDG's sebesar 7,5% tahun 2015 mendatang. Kini pemerintah Provinsi Sumatera Utara terus berupaya mengurangi angka kemiskinan. Untuk itu, semua pihak harus saling bantu agar masalah kemiskinan menurun dari tahun ketahun.
3.2 SARAN
Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara (Sumut) memang terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Namun  penurunan angka kemiskinan di Sumut tidak sebesar laju pertumbuhan ekonominya. Untuk itu, pemerintah Provinsi Sumatera Utara harus terus berupaya mengurangi angka kemiskinan, tetapi bukan hanya pemerintah saja yang turun tangan dalam menangani masalah ini,tetapi semua pihak harus saling bantu agar masalah kemiskinan menurun dari tahun ketahun.


















DAFTAR PUSTAKA

Andifachriani, Masalah Kemiskinan, diakses 30 Mei 2014 (http://andifachriani.blogspot.com/2012/01/makalah-kemiskinan.html)
Badan Pusat Statistik, Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2009, diakses 03 Mei 2014 (http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan-01jul09.pdf)

Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, Jumlah dan Presentasi penduduk Miskin Sumatera Utara, diakses 30 Mei 2014 (http://sumut.bps.go.id)
Fadliansyah, Teori Kemiskinan, diakses 17 April 2014     (http://www.scribd.com/doc/14597304/TEORI-KEMISKINAN)

Rajasa M Hatta, Mengatasi  Kemiskinan di Indonesia, diakses 03 Mei 2014 (http://cidesonline.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=118)


Todaro Michael  P  dan  Smith Stephen C. Pembangunan  Ekonomi. Terjemahan :Mundandar Haris. Jakarta : Penerbit Erlangga.

1 komentar:

  1. Oiya ngomongin kemiskinan, kayaknya nyambung deh sama artikel yang saya temuin baru-baru ini. Di artikel ini disebutkan kalo ada beberapa kesalahan yang bikin seseorang ga pernah jadi kaya. Cek di sini ya: Kesalahan yang bikin kamu tidak pernah kaya, wajib dihindari!

    BalasHapus